Oleh: Muhammad Abduh Negara
“Taqlid itu terlarang. Setiap orang harus mengikuti dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Baik, kalau begitu, tolong bantu jelaskan satu saja masail fiqih, dengan analisis shahih dhaif Hadits yang berbicara soal itu sebagaimana para huffazh Hadits melakukannya, kemudian analisis makna yang dikandung oleh Hadits tersebut, termasuk analisis kebahasaan, sampai pada kesimpulan hukum, sebagaimana yang dilakukan para aimmah mujtahidun…
“Oh, maksud kami, bukan seperti itu. Kami tidak ijtihad, tapi juga tidak taqlid.”
Baiklah, berarti anda berada pada manzilah bayna manzilatayn. Anggaplah posisi itu benar. Sekarang silakan jelaskan dalam masail fiqih yang sama, mengapa pendapat Imam A lebih kuat (rajih) dibandingkan pendapat Imam B.
Saya, meskipun ilmu masih sangat sedikit sekali, tapi insyaallah bisa melihat, mana penjelasan yang “masuk” dalam nalar fiqih, dan mana yang ngawur.
Jadi, mari kita uji, proses tarjih yang anda lakukan, apakah bisa diterima dalam nalar fiqih, atau cuma kengawuran dan sok tahu saja.
“Eh, saya memang tidak bisa tarjih, tapi kami ikut pendapat dengan landasan dalil, bukan taqlid semata.”
Baiklah kalau begitu. Tolong jelaskan apa itu dalil, mengapa ia layak disebut dalil, bagaimana kehujjahan dalil tersebut? Statusnya qath’i atau zhanni?
Terus, kalau terjadi ta’arudh (pertentangan) antar dalil, bagaimana solusinya?
“Eh, bukan seperti itu juga. Intinya, ustadz kami mengatakan pendapat A itu kuat, dalilnya begini dan begini.”
Kalau seperti itu, itu taqlid namanya. Anda percaya dan menerima betul penjelasan ustadz anda, tanpa paham kekuatan hujjahnya. Penyebutan dalil berupa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi pun, tidak mengubah kondisi anda, karena anda tak bisa memahami sendiri dalil yang disebutkan tersebut.
Jangan-jangan, ustadz anda menyebutkan Hadits yang tidak nyambung dengan perkara yang dibahas pun, anda tidak tahu.
Leave a Reply