Oleh: Muhammad Abduh Negara
Akhir-akhir ini ramai lagi pembahasan dan perdebatan seputar penentuan kapan ‘Idul Adha dan Puasa ‘Arafah. Terlebih, Kemenag RI memutuskan ‘Idul Adha terlambat satu hari dari keputusan Pemerintah Saudi.
Paling tidak muncul dua pendapat tentang hal ini:
- Ikut keputusan pemerintah Saudi, karena Puasa ‘Arafah dan ‘Idul Adha, mengikuti manasik Haji di Makkah dan sekitarnya.
- Ikut keputusan pemerintah negeri masing-masing. Dengan alasan, di antaranya adanya ikhtilaf mathali’.
Pembahasan fiqih dari masing-masing pendapat, sudah banyak dikemukakan. Fatwa dari banyak ulama, juga sudah dibagikan.
Saya sendiri, awalnya tak tertarik ikut-ikutan berbicara tentang hal ini. Namun, saya dan sebagian orang yang ‘curhat’ ke saya, melihat ada sebagian pihak yang terlalu berlebihan menyikapi hal ini. Ini yang membuat saya tergelitik ikut-ikutan membahas hal ini.
Ungkapan berlebihan itu semisal (bil ma’na):
- Puasa ‘Arafah kok di Hari Raya ‘Idul Adha?
- ‘Idul Adha kok di tanggal 11 Dzulhijjah?
- Kami ikut Idul Adha Arab, bukan Idul Adha Nusantara
- Yang Idul Adha berbeda dengan di Arab itu pengikut Islam Nusantara
- Wuquf di Arafah, bukan di Monas Dan semisalnya.
Ungkapan-ungkapan ini bermasalah, karena menganggap yang tidak mengikuti pendapat mereka, telah menyimpang dari Syariah. Jika menyadari ini perkara khilafiyyah, tentu tak akan melontarkan ungkapan-ungkapan semacam itu.
Ditambah juga, ada tulisan yang ramai dibagikan, yang mengklaim dua hal:
- Kewajiban mengikuti ru’yah penguasa Makkah dalam ‘Idul Adha, itu kesepakatan ulama 4 madzhab.
Saya berulangkali bertanya kepada yang membagikan tulisan ini, bisakah menunjukkan sumber atau referensi yang mu’tabar, yang menunjukkan adanya kesepakatan tersebut. Belum ada yang menanggapinya dengan baik.
Saya sendiri, dengan keterbatasan saya, mencoba mengakses beberapa kitab fiqih yang bisa saya akses, belum menemukan pernyataan jelas yang menunjukkan hal ini.
- Bahwa perkara kewajiban mengikuti ru’yah penguasa Makkah ini adalah perkara yang ma’lum minad diin bidh dharurah. Ini lebih bermasalah lagi, karena dalam berbagai kitab ulama (beberapa sudah pernah saya bahas di status-status saya terdahulu), yang mengingkari perkara ma’lum minad diin bidh dharurah itu kafir.
Apakah penulis sedang mengkafirkan banyak umat Islam? Kemungkinannya tidak. Saya husnuzhzhan, penulis hanya “salah memahami” ungkapan ma’lum minad diin bidh dharurah. Pemahamannya tentang istilah tersebut, berbeda dengan pemahaman para ulama di kitab-kitab mereka.
***
Yang kita sayangkan, dua hal:
- Menafikan adanya khilafiyyah dalam persoalan ini. Padahal banyak fatwa ulama yang menunjukkan bahwa ini perkara khilafiyyah.
- Menuduh pihak yang berbeda, dengan berbagai tuduhan yang sangat tidak pantas.
Sedangkan persoalan, ada orang-orang yang memilih pendapat A atau B, itu tidak masalah. Yang ingin ikut keputusan Saudi, silakan saja. Yang ingin ikut keputusan ru’yah hilal negeri ini, silakan juga.
Toh, ini perkara khilafiyyah. Mengapa harus ngotot-ngototan.
***
Saya sendiri secara pribadi, sangat senang dan ingin adanya penyatuan dalam ketetapan ‘Idul Adha maupun Ramadhan dan ‘Idul Fithri. Namun, realitanya saat ini, belum bisa dan belum terwujud.
Minimal ada dua aspek dalam hal ini:
- Aspek politik
- Aspek teknis
Aspek politik, realitanya saat ini umat Islam berada di berbagai negara yang berbeda, dengan penguasa yang berbeda. Mereka semua merasa berhak untuk memutuskan keputusan untuk rakyatnya.
Jika ada yang mengatakan, ini akibat nasionalisme dan ketiadaan Khilafah. Oke lah. Kita mungkin bicarakan hal itu, di lain kesempatan. Namun, sekarang mari kita lihat realita saat ini. Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam, terhadap adanya perbedaan penentuan ‘Idul Adha ini?
Kalau semua disuruh ikut keputusan penguasa Makkah, ini namanya memaksakan kehendak, dalam persoalan yang secara fiqih, ada ikhtilaf di dalamnya.
Kalau pakai kaidah “hukmul hakim yarfa’ul khilaf”, penguasa mana yang berhak melakukannya. Penguasa Saudi, hanya punya wewenang terhadap warga Saudi. Pemerintah Indonesia, punya wewenang atas rakyat Indonesia. Artinya, beda negara, beda keputusan. Jangan dulu bicara “mewujudkan satu negara”, karena kita bicara realita saat ini, bukan prediksi yang terjadi di masa depan.
Apakah keputusan pimpinan harakah? Tentu lebih tidak nyambung, dengan kaidah “hukmul hakim yarfa’ul khilaf”.
Berharap seluruh negara itu sepakat memakai satu keputusan atau satu kalender untuk seluruh umat Islam, silakan saja. Namun, lagi-lagi, itu belum terwujud saat ini.
Kemudian dari sisi teknis. ‘Idul Adha, mungkin tak terlalu rumit. Yang rumit adalah Ramadhan dan ‘Idul Fithri, jika kita ingin seragamkan seluruh dunia. Bagi yang pernah ikut pendapat “ru’yah global”, tentu pernah merasakan bagaimana menunggu keputusan besok Ramadhan atau tidak, sampai menjelang waktu Shubuh, karena harus menunggu hasil ru’yah di Timur Tengah.
Padahal, jika konsisten ru’yah global, bukan hanya menunggu ru’yah Timur Tengah, tapi harus menunggu ru’yah di Amerika Selatan. Dulu, saya sempat mendengar info, saat ru’yah di Indonesia dan di Timur Tengah tak terlihat hilal, semua mengambil keputusan istikmal. Tapi ternyata ada laporan, hilal terlihat di salah satu negara Amerika Latin. Padahal saat itu, di Indonesia sudah masuk waktu dhuha.
Jika ‘Idul Fithri tak masalah, tinggal batalkan puasanya. Nah, kalau Ramadhan, artinya orang-orang di Indonesia tak bisa puasa tanggal 1 Ramadhan, dan harus mengqadha-nya. Seandainya itu terjadi tiap tahun, maka kita harus mengqadha puasa 1 Ramadhan tiap tahun.
Ini gambaran untuk memudahkan saja. Meskipun, saya paham, masalah teknis, jauh lebih rumit dari ini. Dan mungkin saya tak terlalu mampu menuangkannya dalam tulisan.
Secara teknis, yang paling mudah tentu menggunakan metode hisab. Namun masalahnya, metode hisab ditolak oleh mayoritas ulama. Belum lagi, kriteria hisab antar lembaga kadang berbeda, yang memerlukan otoritas politik untuk memilih salah satu.
***
Nah, persoalannya kita hidup di tahun 2018 M atau 1439 H, dengan semua situasi dan kondisinya, dengan semua realita yang ada.
Kita mungkin mengharapkan kondisi ideal, namun itu belum terwujud saat ini. Saat ini, kita harus berhadapan dengan realita yang ada.
Para ahli fiqih, sudah menyampaikan fatwanya, yang sesuai dengan kondisi saat ini. Mereka ahli agama, dan tugas mereka memberikan jawaban dan solusi yang bisa kita amalkan saat ini.
Terlalu berharap yang ideal, sembari mencela semua yang berbeda, termasuk mencela fatwa para ulama, atau mencela orang-orang yang mengikuti fatwa tersebut, itu bukanlah kebaikan. Hasil dari celaan-celaan itu bukanlah persatuan, namun malah menambah permusuhan dan perpecahan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply