Oleh: Muhammad Abduh Negara
Karakteristik mad’u itu berbeda-beda, sehingga perlu pendekatan dan penyampaian yang berbeda pula.
Contoh, anak-anak hedon yang tidak kenal agama, yang bahkan mungkin tidak tahu jumlah rakaat shalat zhuhur, itu tidak bisa diberi solusi menyimak kajian youtube atau datang ke masjid. Karena itu di luar alam pikiran mereka. Boro-boro ke masjid, kapan terakhir shalat saja mungkin sudah lupa. Buka youtube tak mungkin untuk menyimak kajian.
Untuk tipe mad’u seperti ini, perlu ada da’i yang bisa jemput bola, penyampaiannya cocok dengan mereka, dan punya daya tahan cukup tinggi untuk membimbing mereka.
Contoh lain, sebagian materi ceramah Gus Baha, yang bagi sebagian orang isinya seperti menggampangkan ibadah, perlu dilihat konteksnya. Yang saya pahami, konteks beliau itu adalah taysir kepada orang-orang yang masih belum kokoh ketaatannya, sekaligus punya kesibukan tertentu. Tentu wejangan beliau, tidak tepat diterapkan oleh orang yang sudah istiqamah dalam ketaatan dan bagus ibadahnya. Jika diterapkan oleh orang seperti ini, jadinya men-downgrade kualitas ibadahnya.
Karena itu, kita semua perlu bagi-bagi tugas dalam berdakwah, mengajar dan menyebarkan ilmu syar’i. Tidak mungkin ada satu individu da’i yang bisa menjangkau semua mad’u dengan beragam karakteristik tersebut.
Karena itu juga, saya tidak mempermasalahkan hadirnya sekian da’i yang mungkin lemah penguasaan ilmu syar’inya. Karena bisa jadi, mereka bisa menjangkau mad’u yang tidak mampu dijangkau oleh para da’i alim. Tentu dengan syarat, mereka hanya boleh bicara hal-hal yang mereka pahami dengan baik, dan tidak lancang masuk dalam pembahasan mendalam yang merupakan ranahnya orang-orang alim.
Lagi-lagi, bagi-bagi tugas, sesuai kapasitas masing-masing. Tidak selayaknya semua da’i diseragamkan penyampaian, cara dan materi dakwahnya. Tidak selayaknya juga setiap da’i diminta bisa menjangkau berbagai tipe dan karakteristik mad’u. Cukup bagi tugas saja.
Leave a Reply