Oleh: Muhammad Abduh Negara
Para ulama mengatakan akad salam (jual beli pesanan) itu hukumnya boleh ‘ala khilafil qiyas. Maksudnya, seandainya hukumnya ditetapkan melalui qiyas, seharusnya ia diharamkan, karena termasuk dalam jual beli sesuatu yang belum dimiliki, yang masuk dalam larangan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Artinya: “Jangan menjual sesuatu yang bukan milikmu.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)
Namun akad ini dibolehkan oleh Nabi, karena hajat kaum muslimin terhadap akad ini, dan unsur gharar dan jahalahnya bisa diantisipasi dengan disebutkannya sifat spesifik dari barang yang dipesan, dan tidak ada kezaliman yang lahir dari akad ini. Karena itu, akad ini -secara garis besar- disepakati kebolehannya oleh seluruh ulama.
Saat ini, argumentasi “akad salam itu haram berdasarkan qiyas terhadap Hadits…” tentu tidak relevan dan tidak bisa diterima, karena menabrak Hadits Nabi dan ijma’ ‘ulama yang membolehkannya. Namun untuk melatih penalaran fiqih, ungkapan “akad salam seharusnya diharamkan berdasarkan qiyas…” tetap perlu dilihat. Kita di sini tidak sedang mempermasalahkan “hukum syar’i final”-nya yang sudah jelas, tapi sedang melatih bagaimana sebuah produk hukum fiqih itu lahir.
Dari penalaran fiqih ini, kemudian ulama menetapkan kaidah “hajat kadang bisa membolehkan satu perkara yang menyelisihi qiyas”. Dari hal ini dan semisalnya, ulama kemudian menetapkan diperhatikannya pertimbangan maslahat dan mafsadat dalam penetapan hukum, bahkan sampai menyatakan pada kondisi tertentu suatu perkara yang terlarang menjadi boleh dilakukan jika ada maslahat besar yang ingin dicapai atau ada mafsadat besar yang ingin dihindari.
Tentu pertimbangan maslahat dan mafsadat ini dengan dhawabith tertentu, tidak serampangan, dan perlu pertimbangan matang oleh seorang ulama yang memiliki nalar fiqih yang kuat. Inilah yang membedakan akal pikiran seorang ulama yang kokoh ilmunya, dengan orang awam.
Leave a Reply