Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu kaidah turunan dari kaidah “adh-dharar yuzaalu” (dharar harus dihilangkan), adalah kaidah ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها (maa ubiha lidh dharurah yuqaddaru biqadriha), artinya sesuatu yang dibolehkan karena dharurah, kadar kebolehannya sesuai kondisi dharurah tersebut. Jadi, kebolehannya tidak berlaku mutlak dan sekehendak kita, tapi terbatas hanya untuk menghilangkan atau terhindar dari kondisi dharurah tersebut saja, tidak boleh melampauinya.
Contoh penerapan kaidah:
1. Orang yang sedang kelaparan, dan tidak menemukan makanan lain kecuali bangkai hewan, ia hanya boleh memakannya sekadar untuk mempertahankan hidupnya saja, tidak boleh lebih.
Ia tidak boleh makan bangkai tersebut sampai kenyang, kecuali jika ia masih harus menempuh perjalanan jauh, yang tidak akan bisa ia tempuh kecuali dengan makan bangkai tersebut sampai kenyang.
2. Orang yang diminta saran oleh perempuan atau keluarganya, tentang sifat dan keadaan laki-laki yang datang melamar, jika cukup dengan ungkapan umum atau sindiran seperti, “Dia tidak cocok untukmu”, maka tidak perlu menyampaikan aibnya secara blakblakan.
3. Boleh mengambil atau mencabut tumbuhan di Tanah Haram, untuk memberi makan hewan ternak. Namun tidak boleh mengambilnya, untuk dijual kepada orang, yang akan menggunakannya sebagai makanan ternak.
4. Bekas najis yang masih ada di tempat keluarnya najis, yang sulit untuk dihilangkan, setelah istijmar (istinja dengan batu dan semisalnya), dimaafkan. Namun tidak dimaafkan bekas najis yang ada pada batu atau semisalnya, yang digunakan untuk istijmar tersebut. Jika seseorang shalat sambil membawa batu tersebut, batal shalatnya.
5. Najis bangkai hewan yang tidak mengalir darahnya, dimaafkan, jika jatuh dengan sendirinya pada minuman atau tempat air. Namun jika kita yang memasukkan bangkai tersebut, minuman dan airnya menjadi najis.
6. Orang gila hanya boleh menikah dengan satu istri saja, tidak boleh poligami, karena kebutuhan seksualnya sudah terpenuhi dengan satu istri.
7. Pada dasarnya, pelaksanaan shalat jum’at di satu daerah atau kota, hanya boleh di satu tempat atau satu titik saja. Jika itu sulit dilakukan, karena jumlah umat Islam yang terlalu banyak, dan masjid tidak bisa menampungnya lagi, maka boleh mengadakannya di dua tempat dan seterusnya.
Namun kebolehan ini, mengikuti kebutuhan. Jika cukup di dua masjid, tidak boleh melaksanakan shalat jum’at di masjid ketiga. Jika perlu tiga masjid, dan itu sudah mencukupi, tidak boleh melaksanakannya di masjid keempat. Demikian seterusnya.
Namun ada beberapa kasus yang dikecualikan, di antaranya:
1. Jual beli ‘araya (menjual kurma basah yang masih di pohon dibarter dengan kurma kering, juga menjual anggur di pohon dibarter dengan kismis atau anggur kering). Awalnya transaksi ini dibolehkan untuk memenuhi hajat orang-orang faqir, namun kemudian ia juga dibolehkan untuk orang-orang yang mampu, menurut pendapat yang paling shahih.
2. Khulu’ (talak dengan uang tebusan dari istri), ia dibolehkan bagi istri sebagai rukhshah baginya, namun kemudian khulu’ ini juga boleh dilakukan oleh ajnabi (orang lain, bukan istri).
3. Li’an (suami istri saling melaknat berkaitan tuduhan zina), dibolehkan saat suami sulit mendatangkan bukti atas perzinaan yang dilakukan istrinya, kemudian ia tetap dibolehkan meski suami bisa mendatangkan bukti, menurut pendapat yang paling shahih.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, Halaman 78-79, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Leave a Reply