Oleh: Muhammad Abduh Negara
Banyak dari teman-teman pengajian, saat ada yang mengkritisi pembelajaran yang fokus ke hafalan, mereka malah menyerang balik dan menganggap seakan semua pengkritik itu anti tahfizh Qur’an dan semisalnya.
Pada tulisan yang lalu, saya pernah menyatakan bahwa Dr. Yusuf Al-Qaradhawi adalah salah satu ulama kontemporer yang juga mengkritisi model belajar yang hanya fokus ke hafalan ini.
Menghafal memang bagian dari proses belajar, karena itu tidak ada masalah dengan hafalan, seperti hafalan Al-Qur’an, hafalan Hadits, atau hafalan mutun kitab, bahkan hafalan-hafalan lainnya. Yang jadi soal adalah, ketika pendidikan hanya fokus pada hafalan saja, sehingga tidak terbangun kemampuan berpikir analitis, tidak terbangun nalar dan logika yang baik, tidak terbentuk kemampuan berpikir kritis, tidak mampu berpikir secara mendalam dan filosofis, dan semisalnya.
Contoh sederhana saja, jangan-jangan ketika ditanya apa tujuan anda menghafal kitab Al-Ajurrumiyyah dalam Nahwu misalnya, banyak yang tidak mengerti. Pokoknya hafal saja.
Betapa banyak dari kita, yang tahu tanggal lahir Kartini, tapi tidak mampu menilai secara kritis mengapa sosok Kartini yang menjadi icon perempuan Indonesia. Betapa banyak dari kita yang tahu kapan terjadi Perang Diponegoro, tapi tidak mampu membaca sejarah perang tersebut secara kritis dan berimbang.
Khusus di circle pengajian, betapa banyak yang sudah belajar ilmu Hadits, tapi tak mampu melakukan verifikasi berita di kehidupan nyata. Betapa banyak yang belajar ushul fiqih, tapi tak mampu melakukan klasifikasi tingkat kebenaran informasi yang sampai padanya. Dan seterusnya.
Karena itu, tidak heran banyak sekali informasi hoax yang tersebar di circle pengajian, karena mereka tidak mampu menerapkan kaidah penerimaan berita dalam ilmu riwayat dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mampu berpikir kritis pada setiap informasi yang masuk, dan tidak punya kemampuan melakukan verifikasi terhadap berita yang beredar padahal sarana untuk melakukannya saat ini begitu mudah. Akhirnya diombang-ambing oleh kefanatikan politik, kepentingan dan lainnya.
Ini juga jawaban, mengapa banyak ‘orang pintar’ dan berderet gelar, namun tidak mampu melihat sisi kritis dari PAZ misalnya, yang sebenarnya menganga lebar.
Leave a Reply