Oleh: Muhammad Abduh Negara
Seseorang membaca penjelasan hukum dari satu artikel internet, yang menyatakan perkara A itu hukumnya haram, berdasarkan Hadits tertentu. Lalu, orang lain menanggapi bahwa menurut Imam Fulan, perkara A itu hukumnya mubah, tidak haram. Lalu, orang pertama menukas, “Haditsnya kan sudah jelas?!”. Perdebatan dua orang ini, sebagaimana biasanya, akan berujung menjadi debat kusir dan saling hujat. Sebabnya, kesenjangan wawasan. Orang pertama, hanya tahu satu pendapat dari artikel internet yang dia baca. Orang kedua, hanya tahu pendapat Imam Fulan, tapi tidak mampu menyanggah dalil yang disebutkan oleh orang pertama.
Seorang doktor lulusan filsafat UIN, yang wirid hariannya mengkritik Hujjatul Islam al-Ghazali, menyatakan dalam salah satu postingannya, bahwa penyebab mundurnya peradaban dan sains umat Islam adalah karena menganggap hukum mempelajari ilmu-ilmu non keislaman sekadar fardhu kifayah, mengikuti penjelasan al-Ghazali. Pernyataan konyol semacam ini, lahir karena kesenjangan wawasan sang doktor dalam tema ini. Tampaknya, yang bersangkutan memiliki kelemahan dalam bahasan ahkam syar’iyyah yang merupakan bagian muqaddimat (pengantar) dalam ilmu ushul fiqih, juga lemah dalam menganalisis sebab kemunduran umat Islam, padahal tulisan dalam tema ini sudah banyak ditulis, baik oleh ulama klasik semisal Ibnu Khaldun dan al-Ghazali (yang sering dituduh oleh yang bersangkutan sebagai penyebab kemunduran), maupun ulama kontemporer.
Demikian juga, soal penyikapan terhadap ajaran syiah. Sebagian kalangan, sudah dengan pakemnya “syiah bukan Islam” dan “semua syiah itu kafir, kecuali segelintir kalangan awamnya”, dan mengira seluruh ulama kaum muslimin sependapat dengan hal ini, padahal faktanya tidak. Mereka membawa narasi ini, tanpa memahami peta ikhtilaf ini, sehingga tampak seperti orang ‘buta map’. Akhirnya mereka harus berulang-ulang debat kusir dengan kalangan yang menganggap syiah hanya mubtadi’ (ahli bid’ah) dan tidak kafir, atau malah debat kusir dengan para simpatisan syiah, yang menganggap beda syiah dengan sunni itu layaknya beda Syafi’i dengan Hanafi saja. Mengapa debat kusir? Karena ada kesenjangan wawasan. Masing-masing pihak, tidak memahami isi kepala dari lawan debatnya. Akhirnya, bukan diskusi ilmiah penuh ilmu yang terjadi, tapi sekadar saling sumpah serapah dan adu kuat bacot saja.
Sebagian orang, dengan naifnya mengira, bahwa kesenjangan wawasan ini bisa diatasi dengan memperbanyak diskusi dan perdebatan di dunia maya, bahkan sebagian menyediakan diri sebagai fasilitatornya. Namun, bertahun-tahun diskusi dan debat semacam ini dilakukan, sedikit sekali yang akhirnya benar-benar ‘tercerahkan’. Kebanyakan kasus, malah menambah api permusuhan dan eskalasi pertikaian. Mengapa? Ya, karena kesenjangan wawasan itu tidak benar-benar teratasi dengan baik, tapi sudah langsung diadu di depan publik. Tentu, di sini ego pribadi dan kelompok afiliasi lebih bermain, dibandingkan nalar ilmiah dan sikap elegan dalam menerima kebenaran dari pihak lain.
Kesenjangan wawasan ini, bagi saya pribadi, hanya bisa diatasi dengan kesediaan tiap individu untuk mau belajar lagi, membaca dan menelaah berbagai referensi, duduk bersimpuh di hadapan banyak guru, dan tidak menjadi katak dalam tempurung yang merasa kebenaran hanya berkisar pada ‘circle’ sempitnya saja. Belajar untuk istifadah (mengambil ilmu dan faidah), bukan sekadar untuk menambah amunisi dalam perdebatan, atau sekadar mencari-cari kesalahan dari buku yang dibaca dan guru yang disimak pengajarannya.

Leave a Reply