Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu keunggulan belajar fiqih mengikuti salah satu madzhab fiqih adalah, pelajar memahami setiap bahasan fiqih secara daqiq, secara rinci. Sebagai contoh, dalam bahasan aurat misalnya, madzhab Syafi’i merincikan dan membedakan aurat perempuan merdeka dengan budak, membedakan aurat perempuan di hadapan sesama perempuan muslimah dan perempuan kafir, juga di hadapan mahram, non-mahram, dan suami, membedakan bahasan aurat di dalam shalat dan di luar shalat, dan seterusnya.
Dalam fiqih shalat, ada perincian semisal, apa saja syarat sahnya ruku’ dan sujud, apa saja syarat sahnya bacaan Al-Fatihah, bacaan minimal tasyahhud, shalawat, dan seterusnya. Ada perincian keadaan yang mengharuskan (dianjurkan) untuk sujud sahwi, hal yang membatalkan shalat jika disengaja, namun jika tidak disengaja tidak batal, dan berbagai bahasan rinci lainnya.
Bagi yang baru belajar fiqih madzhab, akan kesulitan menemukan dhawabith (ketentuan rinci) dan istitsna (pengecualian) setiap masail fiqih (bahasan fiqih) secara rinci, karena ia harus membaca syarah (kitab yang menjelaskan isi matan/mukhtashar) dari satu kitab, untuk mengetahui penjelasan lebih rinci tentang materi yang dimuat oleh kitab dalam bentuk matan atau mukhtashar (kitab ringkasan) tersebut. Bahkan, untuk lebih memperjelas lagi, kita perlu baca kitab hasyiyah (kitab yang menjelaskan isi syarah). Bahkan kita perlu membaca banyak syarah dan hasyiyah dari berbagai matan yang berbeda, untuk sampai pada pemahaman yang rinci terhadap satu masail.
Rumit memang, tapi itu melatih kita untuk berpikir rinci, sekaligus melatih kita untuk memahami ta’lil ahkam (alasan ditetapkannya hukum tersebut) oleh para fuqaha.
Hal semacam ini yang sulit didapatkan dari proses belajar fiqih di luar tradisi madzhab. Kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan, jarang melakukan perincian, dan tidak ada kitab-kitab berikutnya yang datang memberikan khidmah pada kitab tersebut. Akhirnya, saat diminta penjelasan secara rinci, mereka kebingungan, atau “berijtihad sendiri” dalam memberikan perincian, tanpa kaidah yang jelas, dan tanpa landasan ilmu yang memadai.
Bahkan dalam titik ekstrem, saya pernah menemukan orang yang sudah lama hadir di majelis pengajian non-madzhab, tidak mampu membedakan mana rukun shalat dan mana sunnahnya, atau kebingungan karena penjelasan ustadz yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Padahal, bagi pelajar madzhab, bahasan ini sudah mereka temukan di awal-awal mereka belajar, dari kitab fiqih paling tipis sekalipun.
Ada beberapa bahaya dari belajar fiqih tanpa jalur madzhab, di antaranya:
1. Potensi jatuh pada pendapat syadz (nyeleneh) dan tidak mu’tabar, karena selalu mengklaim mengikuti dalil, tanpa mau peduli aqwal (pendapat) para ulama mu’tabar tentang bab tersebut.
Salah satu pendapat syadz yang sempat ramai beberapa waktu lalu, fatwa seorang ustadz rujukan dari HT, bahwa boleh makan dan minum selama adzan shubuh masih berkumandang di bulan Ramadhan, meskipun sudah diyakini saat itu waktu shubuh sudah masuk (bukan karena menganggap adzan terlalu cepat). Pendapat yang hanya dilandasi oleh Hadits yang didhaifkan oleh banyak ulama Hadits ini, menabrak ijma’ ulama, sejak era salaf dan khalaf. Bahkan sang ustadz sendiri, dalam fatwanya tersebut, mengakui bahwa pendapat tersebut menyelisihi empat madzhab. Sebenarnya, bukan hanya empat madzhab, tapi seluruh ulama.
Ada juga fatwa lain, dari ustadz yang sama, yang menganggap haram jual beli kurma secara online. Entah pendapat siapa yang diikuti sang ustadz, karena sepengetahuan kami, tidak ada ulama yang berfatwa seperti itu. Beda halnya, kalau barter kurma dengan kurma, yang memang disyaratkan harus langsung diserahterimakan. Tapi kasus yang difatwakan ini, beli kurma dengan uang. Padahal uang dan kurma ini beda ‘illah (alasan hukum), berdasarkan pendapat empat madzhab dan lainnya, yang mengakui adanya ‘illah dalam barang-barang ribawi, sehingga tidak disyaratkan harus langsung diserahterimakan.
2. Jika tidak disertai adab dan sikap tahu diri, sering bersikap lancang pada ulama mu’tabar, menganggap pendapat para ulama tersebut menyelisihi dalil, padahal ilmunya sendiri yang masih cetek.
Dr. Shalih bin Salim As-Sahud, dalam “At-Tamadzhub Laa Yu’aridhu Ad-Dalil Wa Laa Al-Qaul Ar-Rajih” (halaman 146-147), menyebutkan beberapa dampak buruk dari klaim mengikuti pendapat yang rajih (kuat) sebelum bertafaqquh dalam satu madzhab, di antaranya: merasa lebih hebat dari para ulama besar, khususnya imam empat madzhab, serta menganggap pendapat-pendapat mereka dan para ulama pengikuti empat madzhab tersebut, pendapat yang lemah, bahkan menyelisihi dalil.
3. Sulit menemukan pembelajaran secara berjenjang, yang meningkatkan level keilmuan seseorang dari pemula ke pertengahan ke tingkat akhir, yang itu sudah tersedia dalam tradisi belajar madzhab. Memang benar, yang belajar lewat madzhab pun, belum tentu sampai level mutawassith (pertengahan) apalagi muntahi (tingkat akhir), tapi jenjang dan kurikulumnya ada. Seperti pendidikan formal kita, memang tidak semua yang sekolah formal itu sampai pada level doktoral, tapi jenjangnya ada.
Contoh jenjang belajar dalam madzhab Syafi’i misalnya, dari kitab “Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib”, setelah tamat dan menguasainya dengan baik, naik ke kitab “Fath Al-Qarib”, setelah tamat dan menguasainya dengan baik, naik ke kitab “Fath Al-Mu’in”, setelahnya naik lagi ke kitab “I’anah Ath-Thalibin”, dan seterusnya. Ini satu contoh saja, yang saya ambil dari sebagian kurikulum pondok pesantren Darussalam, Martapura, Kalimantan Selatan. Di tempat lain, mungkin urutannya berbeda. Namun semuanya sama dari sisi, ada level pembelajaran, dari tingkat dasar, naik ke menengah, naik ke tingkat akhir.
Sedangkan pembelajaran non-madzhab, belum mampu menunjukkan jenjang dan kurikulum yang jelas untuk itu. Sehingga sebagai sebuah sistem pembelajaran, sulit diikuti dan diterima oleh banyak orang.
Lalu, apakah pembelajaran fiqih madzhab juga punya kekurangan? Jawabannya, tentu ada. Tapi solusi untuk kekurangan tersebut pun, juga ada.
1. Umumnya, yang belajar fiqih madzhab, lebih banyak fokus pada perincian bahasan, sehingga kurang mendalami sisi dalil dan istidlal, terutama yang belajarnya tidak sampai pada kitab-kitab besar seperti “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” dan semisalnya.
Solusinya, perlu menelaah kitab-kitab besar yang membahas sisi pendalilan dan munaqasyah antar dalil (adu argumen dalil), seperti “Al-Majmu’” karya An-Nawawi, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-Mawardi, “Nihayah Al-Mathlab” karya Imam Al-Haramain, dan lain-lain. Juga menelaah kitab-kitab tafsir ahkam, dan syarah Hadits ahkam. Juga mempelajari ilmu-ilmu alat semisal ushul fiqih, ushul tafsir, mushthalah Hadits, dan lain-lain.
2. Bisa jatuh pada sikap ta’ashshub madzhab (fanatisme buta pada madzhab) dan jumud pada pendapat madzhab.
Ta’ashshub madzhab memang benar-benar ada, dan kadang menjadi sumber konflik antar pengikut madzhab. Bahkan, sempat ada fatwa dari sebagian pengikut madzhab Hanafi, yang melarang pengikut Hanafi menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki bermadzhab Syafi’I, sebagaimana disebutkan dalam “Al-Bahr Ar-Raiq”, karya Ibnu Nujaim Al-Hanafi (juz 2, halaman 81).
Solusinya, banyak membaca kitab-kitab fiqih perbandingan madzhab, agar memahami, semua madzhab juga punya dasar argumen masing-masing atas pendapat mereka.
Juga membaca kitab serta penelitian fiqih kontemporer, untuk memahami bahwa fiqih itu harus hidup dan berinteraksi dengan zaman, tidak hanya tersimpan di lembaran kertas kitab kuning.
Juga membaca kitab-kitab tentang tarikh fiqih, madkhal fiqhi (pengantar fiqih), dan semisalnya, untuk memahami posisi fiqih secara tepat, dan bisa memposisikan secara tepat antara fiqih klasik dan fiqih kontemporer.
Namun patut dicatat, sikap ta’ashshub ini tidak talazum (terikat) dengan madzhab fiqih. Artinya, bermadzhab tidak otomatis ta’ashshub. Yang lebih umum terjadi di masa sekarang, orang-orang yang bermadzhab lebih bisa bersikap toleran terhadap perbedaan pendapat. Bahkan kadang, dalam fatwa, mereka memberikan fatwa dari madzhab berbeda, ketika memang ada hajat untuk itu. Yang lebih sering terjadi, kalangan yang menolak bermadzhab, yang malah menunjukkan sikap ta’ashshub terhadap guru, syaikh dan pendapat komunitasnya.
Mana buktinya?
Buktinya, saat kita menyampaikan pendapat berbeda, dengan pendapat yang ia dapatkan dari gurunya, dengan cepat ia menuduh kita melakukan bid’ah, terkena syubhat, dan lain-lain. Saat kita tanya, apa argumentasi dia atas tuduhannya tersebut? Atau lebih dasar lagi, apakah ia punya dasar keilmuan untuk berhujjah dan berdalil? Nyatanya, nol besar.
Artinya, apa yang menjadi dasar ia menuduh pendapat yang kita sampaikan itu bid’ah dan syubhat? Tidak ada, kecuali fanatik buta pada gurunya. Jika seseorang keras bersikap, tapi tanpa landasan ilmu yang kokoh, alasannya pasti karena fanatisme buta.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply