Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Khadir Membunuh Seorang Anak

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah berkata, “Kamu jangan membunuh satu anak musyrikin pun, kecuali kamu mengetahui apa yang diketahui oleh Khadhir saat dia membunuh seorang anak.” (HR. Muslim)

Ada ulama yang berargumen dengan ucapan Ibnu ‘Abbas ini, bahwa syariat Khadhir ‘alaihis salam sebenarnya tidak bertentangan dengan syariat Musa ‘alaihis salam dan syariat kita. Seandainya kita bisa mengetahui dengan pasti bahwa di masa depan si anak itu akan berbuat zalim pada kedua orangtuanya dan memaksa mereka untuk menjadi kafir, maka boleh membunuhnya sebelum itu terjadi. Tapi masalahnya, Khadhir mengetahui itu berdasarkan wahyu dari Allah ta’ala, sedangkan kita tidak mungkin menerima wahyu.

Namun banyak ulama yang menyatakan, hal itu syariat khusus untuk Khadhir ‘alaihis salam, bukan syariat yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, bahkan bukan juga syariat yang dibawa Musa ‘alaihis salam, karena itu saat melihat hal tersebut Nabi Musa mengingkarinya. Dan hal itu pun, hanya berlaku untuk anak tersebut saja, dan Khadir melakukannya berdasarkan perintah Allah ta’ala.

Ringkasnya:

1. Jika diterima bahwa yang dilakukan Khadhir itu tidak menyelisihi syariat untuk umat Muhammad, tetap saja hal itu tidak boleh kita lakukan, karena Khadhir mengetahui keadaan si anak di masa depan dan melakukan pembunuhan tersebut berdasarkan wahyu dari Allah ta’ala, sedangkan kita tidak mungkin bisa mengetahuinya, karena wahyu sudah terputus.

2. Kalau diterima bahwa syariat itu khusus untuk Khadhir ‘alaihis salam, dan ia haram dalam syariat kita, sebagaimana dijelaskan banyak ulama, maka perkaranya sudah jelas.

3. Musa ‘alaihis salam pada awalnya mengingkari hal yang dilakukan Khadhir ‘alaihis salam, dan ini bukan sesuatu yang salah bagi beliau, karena zhahirnya yang dilakukan oleh Khadhir itu salah. Baru setelah Khadhir menjelaskan bahwa beliau melakukannya berdasarkan perintah Allah ta’ala, Musa bisa menerima sepenuhnya.

4. Perlu dicatat, informasi yang didapatkan Musa tentang Khadhir juga berdasarkan wahyu dari Allah ta’ala, bukan pengalaman spiritual beliau pribadi tanpa bimbingan wahyu.

Jadi jika ada yang memposisikan dirinya dengan gurunya, seperti Musa terhadap Khadhir, yang harus menerima apapun pernyataan dan perilaku gurunya, meskipun itu menyelisihi syariat, maka ini jelas paham yang batil dan perkara munkar. Siapa gurunya sehingga disamakan dengan Khadhir? Siapa dia sehingga merasa punya posisi sama seperti Musa?

Kalau dia berargumen, bahwa dia atau gurunya mendapatkan kasyaf atau ilham, yang tidak diketahui oleh orang lain, maka kita katakan, ilham dan kasyaf itu tidak setara dengan wahyu. Wahyu itu pasti dan qath’i berasal dari Allah ta’ala, wajib diikuti. Sedangkan ilham dan kasyaf itu muhtamal, bisa benar dari Allah ta’ala, bisa juga dari syaithan. Karena itu, ulama Ahlus Sunnah sepakat, ilham dan kasyaf itu bukan hujjah dalam perkara aqidah dan ahkam syariat. Pernyataan gurunya wajib ditimbang dengan timbangan yang kokoh, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan penjelasan ulama yang mu’tabar, bukan ditelan mentah-mentah.

Leave a Reply