Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Kiyai Dan Dangdutan

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Beredar video acara dangdutan yang diadakan oleh relawan satu pasangan capres-cawapres. Dan mirisnya, di acara tersebut, hadir juga sang cawapres, ikut berdiri bersama-sama yang lain sambil bertepuk tangan. Seandainya sang cawapres memang dikenal dari partai sekuler atau pengusaha nasionalis yang terbiasa dengan riba, mungkin itu hal biasa. Tapi sang cawapres adalah seorang kiyai, pimpinan tertinggi ormas Islam terbesar di Indonesia, sekaligus pimpinan tertinggi perkumpulan ulama di Indonesia.

Hukum musik boleh dikatakan, memang ada perbedaan pendapat. Namun, tidak ada ulama yang menghalalkan nyanyian yang diiringi musik oleh seorang perempuan berpakaian seksi, serta berlenggak-lenggok di hadapan laki-laki ajnabi. Itu jelas kemungkaran, bilaa khilaaf. Setiap muslim, saat bertemu kemungkaran, diperintahkan untuk menghentikannya dengan tangan. Jika tak kuasa, maka dengan lisan. Jika benar-benar tak mampu, ia harus menunjukkan ketidakridhaan dan ketidaksenangan dengan kemungkaran tersebut.

Kita sebenarnya tentu berharap, sang kiyai bukan saja tidak hadir di tempat maksiat seperti itu, namun beliau melakukan nahi mungkar, meminta panitia kegiatan menghentikan acara tersebut. Beliau kiyai, tokoh agama, sekaligus tokoh sentral di acara tersebut, sangat wajar jika beliau menunjukkan sikap dengan tegas. Fitnah semacam inilah, yang kita khawatirkan mengenai seorang ‘alim atau da’i, yang terlibat dalam dunia politik praktis nan sekuler. Kita mendukung keterlibatan seorang kiyai, ‘alim, atau da’i, dalam politik praktis, jika itu tujuannya ishlah, memperbaiki kerusakan yang ada, dan membawa nilai-nilai Islam ke dalamnya, meskipun dengan bertahap (tadarruj).

Namun, jika itu malah membuat mereka terbawa arus keburukan, jangankan menghentikannya, yang ada malah terkesan mendukung dan menikmati keburukan tersebut, kita tentu tak rela, para ulama dan du’at kita masuk ke dalam keburukan ini.

Saya berharap, “muka masam” yang terlihat pada wajah sang kiyai, menjadi hujjah bagi beliau, bahwa beliau tak ridha dengan kemungkaran yang ada di hadapan beliau. Kita juga berharap, ‘alim atau da’i yang melibatkan diri dalam politik praktis, di kubu manapun, benar-benar bertujuan untuk ishlah dan membawa nilai-nilai Islam ke dalamnya, bukan terjebak arus keburukan, atau sekadar ingin mencicipi manisnya harta dunia.

Leave a Reply