Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu target dakwah dari seorang da’i, tentu adalah dakwahnya diterima oleh sebanyak-banyaknya orang, sehingga semakin banyak yang tunduk patuh kepada Allah ta’ala. Ini jelas tak masalah, karena jika dakwah berjalan begitu saja, tanpa target agar ia bisa sampai dan diterima oleh mad’u, tentu tujuan dakwah tak tercapai.
Karena itu, wajar dan sah-sah saja seorang da’i, berpikir sekreatif dan se-“out of the box” mungkin, agar dakwahnya bisa diterima oleh sebanyak-banyaknya mad’u. Misal dakwah Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu yang menyasar para pembesar Yatsrib. Demikian juga dakwah Walisongo di nusantara, dan terlalu banyak contoh lainnya.
Teknis dakwah tak melulu harus ceramah atau tabligh akbar. Duduk di warung kopi sambil berdakwah, tak masalah. Datang ke kumpulan anak-anak punk dan berbicara Islam, juga tak masalah. Bahkan, datang ke masjid yang dikelola bank konvensional, dan berkhutbah tentang haramnya riba a.k.a. bunga bank, itu mantap sekali, bukan malah berceramah tentang meningkatkan etos kerja, yang berarti menyemangati mereka untuk bertransaksi ribawi.
Namun, kreatifitas tak boleh menabrak Syariah. Kreatifitas juga tak boleh merusak tatanan adab yang telah dibangun Islam.
Dalam aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ummahatul Mu’minin adalah sosok-sosok yang sangat mulia, dan wajib kita muliakan, serta kita sebut dengan penuh penghormatan dan adab. Tentu tak layak dilabeli seperti label yang biasa diberikan ke remaja- remaja kebanyakan, apalagi remaja alay. Ini satu contoh.
Demikian juga, menjadikan masjid sebagai pusat peradaban, itu sangat bagus. Saya sendiri sudah lama berwacana, agar masjid itu benar-benar bisa menjadi pesantren untuk lingkungan sekitarnya dengan kurikulum yang terstruktur dengan baik dan berjenjang, sehingga alumni pengajian masjid, memang lulus menjadi seorang alim, bukan diam di tempat ilmunya, meski telah hadir pengajian belasan tahun. Toh, dana yang dimiliki masjid biasanya besar, tentu menggaji 5-10 orang pengajar berkompeten masing-masing minimal 3 juta/bulan, tak akan terlalu berat.
Namun tentu, jika konsep masjidnya malah berisi break dance, live music, dan lain-lain, ini tentu kurang wajar, dan terkesan kurang beradab. Mengajak anak gaul ke masjid, itu maksudnya mengajak mereka shalat dan kajian di masjid, bukan mengajak mereka joget-joget dan menyanyi-nyanyi di halaman masjid.
Jika dakwah dilakukan tanpa memperhatikan adab, kita patut khawatir, yang lahir adalah para “aktivis hijrah” yang tak punya adab. Wal ‘iyadzu billah.
Leave a Reply