Oleh: Muhammad Abduh Negara
Ra’fat Farid Suwailim dalam “Shina’ah Al-Faqih” (Hlm. 114-115, Dar Al-Bayan, Mesir) menyebutkan beberapa dampak buruk dari gerakan anti madzhab dewasa ini, di antaranya (saya sebutkan sebagian saja):
1. Lancang terhadap para ulama besar dengan begitu mudahnya menyalahkan, membantah bahkan membuat tuduhan dusta kepada mereka.
2. Tergesa-gesa berfatwa, padahal ilmu belum cukup.
3. Cenderung pada pandangan zhahiriyyah yang hanya melihat zhahir nash saja.
4. Anak muda yang belum memahami dasar-dasar ilmu fiqih, sudah berani membanding-bandingkan pendapat ulama besar, merajihkan yang satu dan melemahkan yang lain.
5. Fanatik buta kepada beberapa masyayikh tertentu, mengunggulkan pendapat mereka secara mutlak, bahkan menjadikan wala dan bara di atasnya.
Catatan:
1. Paling tidak ada tiga pandangan tentang madzhab fiqih dewasa ini, yaitu: (a) Yang mewajibkan bermadzhab, sekaligus mewajibkan mengikuti satu madzhab tertentu secara ketat, dan tidak boleh keluar dari pendapat madzhab yang diikuti sama sekali, (b) Yang melarang bermadzhab dan menganggapnya keluar dari jalan agama yang benar, sekaligus mewajibkan semua orang merujuk langsung pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, (c) Yang menganggap bermadzhab adalah jalan terbaik untuk tafaqquh fid diin, dan jalan yang ditempuh oleh banyak ulama besar, namun sekaligus tidak fanatik buta padanya, dan bisa saja dalam sekian persoalan mengikuti pandangan dari madzhab yang berbeda.
Pandangan yang terbaik –wallahu a’lam– sekaligus yang ditempuh oleh banyak ulama besar kontemporer (misalnya Dr. Wahbah Az-Zuhaili, penulis Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu) adalah pandangan ketiga.
Tentu tiga pandangan di atas, sekadar pengelompokan secara garis besar saja. Karena jika diperinci, akan sangat banyak ragam pandangan yang berbeda.
2. Yang disebutkan oleh Ra’fat Farid Suwailim di atas adalah kenyataan, yang jika kita jujur, kita akan mengakui bahwa hal tersebut banyak kita temukan di sekitar kita. Sebagai contoh, bermudah-mudahan menganggap pendapat Imam Asy-Syafi’i menyelisihi dalil, tanpa menyadari kedudukan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i di tengah-tengah para ulama, hanya berdasarkan artikel internet yang menyajikan satu dua dalil (baca: terjemah ayat Al-Qur’an dan terjemah Hadits) yang seakan membantah pendapat Asy-Syafi’i.
3. Contoh lain, begitu mudah mengatakan, “Yang rajih berdasarkan dalil-dalil yang ada adalah pendapat…”, padahal saat ditanya apakah yang bersangkutan pernah belajar ushul fiqih dan menguasainya dengan baik, ternyata tidak. Bahkan bisa jadi, nama kitab “Al-Waraqat” saja tidak pernah tahu. Kalau tidak pernah belajar ushul fiqih, dari mana dia bisa mengetahui kaidah-kaidah tarjih? Jika dia tidak memahami kaidah-kaidah tarjih, dengan apa dia melakukan tarjih? Inilah bukti kelancangan dan sikap tidak tahu diri yang sangat jelas terlihat.
4. Keburukan yang juga jelas terlihat, menjadikan satu atau sekian masyayikh sebagai standar kebenaran mutlak, sehingga saat menemukan ada pendapat yang menyelisihi kesepakatan masyayikh tersebut, langsung dia simpulkan pendapat tersebut tidak berlandaskan dalil atau menyelisihi As-Sunnah. Jika para masyayikh tersebut berbeda pendapat, baru dia katakan, “Kita bersikap toleran atas perbedaan pendapat ulama”. Apakah selain beberapa masyayikh tersebut bukan ulama di matanya?
Ungkapan “Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya”, atau “Jika Hadits tersebut shahih itulah madzhabku”, “Jika pendapatku bertentangan dengan Hadits Shahih, lemparkanlah pendapatku tersebut ke dinding”, “Jangan taqlid padaku, pada Malik, pada…”, ternyata hanya berlaku pada pendapat para imam madzhab. Sedangkan untuk pendapat masyayikh rujukannya, tidak berlaku kaidah tersebut.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 21 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 24 Januari 2022 M
Leave a Reply