Oleh: Muhammad Abduh Negara
1. ‘Illah keharaman khamr adalah “iskar” (memabukkan). Artinya, jika suatu minuman bersifat memabukkan, apapun namanya, hukumnya sama dengan khamr, yaitu haram.
Sebaliknya, jika ia tidak memabukkan, mau dinamakan “bir” atau apapun, hukumnya tidak haram. Karena itu, tidak haram minum bir pletok.
2. Hadits ما أسكر كثيره فقليله حرام, bermakna bahwa semua minuman yang memabukkan jika diminum dalam jumlah banyak, maka meminumnya dalam jumlah sedikit juga haram, meskipun peminumnya tidak mabuk.
Dari sini, disimpulkan bahwa keharaman khamr itu karena adanya sifat “iskar” pada minuman itu sendiri, bukan dilihat dari sisi “fakta mabuk” bagi setiap yang meminumnya.
Artinya, selama suatu minuman itu bisa dibuktikan, atau ghalabatuzh zhan, bersifat memabukkan, maka haram bagi siapapun meminumnya, meskipun saat dia minum, dia tidak mabuk.
Jadi tidak bisa seseorang berargumen, bahwa suatu minuman itu tidak haram baginya, dengan alasan dia tidak mabuk saat meminumnya.
3. “Adanya alkohol” memang tidak bisa disebut sebagai ‘illah keharaman khamr, karena jika dipahami seperti itu, berkonsekuensi haramnya minuman apapun, yang mengandung alkohol (baca: etanol) dalam kadar berapa pun, meskipun hanya 0,0001%.
Namun, berdasarkan penelitian mutakhir, para ahli menyatakan, senyawa yang membuat sebuah minuman bisa memabukkan adalah adanya kandungan alkohol di dalamnya, jika mencapai kadar dan dosis tertentu. Hasil penelitian para ahli ini, membantu seorang faqih untuk mengetahui terwujudnya ‘illah keharaman khamr (yaitu: iskar) atau tidak pada suatu minuman. Proses ini disebut tahqiq al-manath.
Berdasarkan tahqiq al-manath ini, fuqaha kontemporer kemudian berijtihad menetapkan, jika sebuah minuman mengandung kadar alkohol melebihi batas tertentu, maka minuman itu bersifat memabukkan, dan haram meminumnya, banyak atau sedikit, yang meminumnya mabuk atau tidak.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply