Oleh: Muhammad Abduh Negara
Imam Abu Syuja’ dalam Matn-nya, menyatakan:
ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام، والبلوغ، والعقل، والحرية، والذكورة والعدالة
Artinya: “Wali dan dua orang saksi perlu memenuhi enam syarat, yaitu: Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki dan ‘adil (memiliki sifat ‘adalah).”
Kita fokus pada syarat ‘adalah. Dalam Fath Al-Qarib disebutkan:
والسادس: العدالة، فلا يكون الولي فاسقا
Artinya: “Dan syarat yang keenam: ‘adalah, maka tidak bisa menjadi wali seorang yang fasiq.”
Dalam Hasyiyah Al-Bajuri ditambahkan:
قوله: فلا يكون الولي فاسقا، وكذلك الشاهدان لا يكونان فاسقين
Artinya: “Perkataannya (maksudnya: perkataan penulis Fath Al-Qarib): maka tidak bisa menjadi wali seorang yang fasiq, demikian juga tidak menjadi dua saksi orang yang fasiq.”
Dan yang dimaksud sifat ‘adalah adalah, kemampuan pada diri seseorang yang mencegahnya jatuh pada dosa-dosa besar, terus-menerus melakukan dosa kecil, dan perbuatan mubah yang menjatuhkan muruah.
Dalam Hasyiyah Al-Bajuri disebutkan contoh perbuatan mubah yang menjatuhkan muruah tersebut, yang beliau sebut “ar-radzail al-mubahah”, di antaranya: berjalan tanpa alas kaki atau tidak memakai penutup kepala, dan makan di pasar selain bagi orang yang bekerja di pasar.
Namun bahasan muruah ini sebenarnya bukan bahasan yang kaku, ia mengikuti ‘urf, dan berbeda-beda keadaannya, mengikuti perbedaan orang, waktu dan tempat. Sebagaimana dijelaskan oleh penulis Mughni Al-Muhtaj.
Pertanyaannya kemudian, apakah syarat ‘adalah ini harus dibuktikan dengan pengakuan khalayak ramai atau rekomendasi dari hakim misalnya, atau cukup secara zhahir ia tak terlihat melakukan kefasiqan?
Jawabannya, cukup ia tidak terlihat melakukan kefasiqan. Dan ini adalah pendapat yang shahih dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam Minhaj Ath-Thalibin. Dan ditegaskan oleh Imam Al-Khathib Asy-Syirbini, bahwa zhahirnya orang Islam itu memiliki sifat ‘adalah. Artinya, selama tidak ada bukti orang itu adalah orang fasiq, maka secara zhahir kita harus tetapkan ia sebagai orang yang ‘adil atau memiliki sifat ‘adalah.
Ditambah lagi, akad nikah adalah akad yang diberlakukan di tengah-tengah orang kebanyakan, dan mereka yang menjadi saksi atas pernikahan itu, jika diharuskan untuk mengecek dan memastikan keadaan orang-orang yang menjadi saksi pernikahan tersebut, maka prosesnya akan terlalu lama dan menyulitkan.
Kesimpulannya, seseorang dianggap memiliki sifat ‘adalah, dan layak menjadi wali dan saksi pernikahan, selama ia tidak terlihat melakukan hal-hal yang membuatnya jatuh pada kefasiqan, meskipun keadaannya sebenarnya tidak benar-benar diketahui.
Wallahu a’lam.
Rujukan:
1. Mughni Al-Muhtaj Ila Ma’rifah Ma’ani Alfazh Al-Minhaj, karya Imam Al-Khathib Asy-Syirbini, Juz 4, Halaman 84-88, dan Juz 5, Halaman 891 & 904, Penerbit Dar Al-Faiha, Damaskus, Suriah.
2. Fath Al-Qarib Al-Mujib Fi Syarh Alfazh At-Taqrib, karya Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi, Halaman 298-299, Penerbit Dar Al-Minhaj, Jeddah, Saudi Arabia.
3. Hasyiyah Al-Bajuri ‘Ala Syarh Al-‘Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi, Jilid 3, Halaman 355-356, Penerbit Dar Al-Minhaj, Jeddah, Saudi Arabia.
Leave a Reply