Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu pengaruh kuat dari “manhaj motivator” adalah penggunaan istilah silaturrahim (صلة الرحم) yang salah tempat. Istilah silaturrahim, sesuai makna yang dikandung dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi adalah menyambung dan membina hubungan dengan keluarga dan kerabat, dan ia memiliki fadhilah yang besar, salah satunya adalah dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan atau diberkahi umurnya.
Oleh para motivator dan trainer bisnis, istilah ini dialihkan maknanya ke “membangun relasi” dan “memperluas jaringan”. Istilah itu pun kemudian digunakan juga oleh banyak orang, sehingga sudah menjadi istilah yang dipakai umum. Saat mengajak ikut pelatihan dan pertemuan bisnis, kumpul-kumpul warga komplek, arisan alumni sekolah dan kampus, dan semisalnya, mereka menggunakan istilah silaturrahim.
Sebenarnya istilah tersebut, yang berasal dari bahasa Arab bahkan berasal dari nash syar’i, jika diambil sebagai bahasa Indonesia dan dimaknai dengan makna baru atau sedikit bergeser dari bahasa aslinya, tak terlalu masalah. Seperti istilah “takjil” (تعجيل) yang sebenarnya berarti “menyegerakan” dalam konteks berbuka puasa, berubah makna jadi makanan yang dihidangkan saat buka puasa. Perubahan semacam ini tak terlalu masalah, karena tak berpengaruh apa-apa dalam amal dan pemahaman seorang muslim.
Sayangnya, istilah silaturrahim yang bergeser makna ini, tetap diembel-embeli dengan berbagai fadhilah yang tidak ada kaitannya dengan pertemuan bisnis, training motivasi dan semisalnya. Semisal dikatakan, “Ayo kumpul-kumpul silaturrahim, biar dapat rezeki yang berkah dan melimpah”. Atau seperti dikatakan anak muda labil, “Kamu kok tidak pernah menghubungi aku lagi, dosa loh memutus silaturrahim.”
Inilah masalah mereka, para pengusung “manhaj motivator” ini. Lemah pemahaman ilmu syar’i-nya, kuat di “ilmu motivasi”-nya yang mereka dapatkan dari para motivator senior, tapi begitu berani menggunakan istilah-istilah Islam secara keliru.
Jadi, jika ada lontaran mereka yang keliru, itu bukan cuma masalah kesalahan dalam memilih diksi. Tapi diksi itu memang sengaja mereka pilih, karena itulah yang benar menurut cara berpikir mereka.
Lalu bagaimana mengubah cara berpikir tersebut? Mintalah mereka ganti guru dan ganti buku, minimal untuk sementara waktu. Belajarlah kepada guru, kiyai, ustadz yang dalam ilmu syar’i-nya dan bukan motivator atau terpengaruh “manhaj motivator”, dan bacalah buku-buku Islam yang mu’tabar, dalam bidang aqidah, fiqih dan tazkiyatun nafs, bacalah kalam ulama, salaf dan khalaf, bacalah tafsir dan syarah Hadits, insyaallah akan ada perubahan.
Tapi jika mereka benar melakukan itu, saya khawatir mereka berhenti jadi motivator.
Leave a Reply