Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dulu para da’i berdakwah di nusantara ini, di tengah penduduk yang belum beragama Islam, dengan penuh hikmah. Tak jarang mereka melakukan pendekatan dengan sesuatu yang sudah dikenal di masyarakat, sehingga dakwahnya pelan-pelan bisa diterima. Masyarakat suka wayang, para da’i membuat wayang dengan bentuk sedikit berbeda sehingga tak mirip manusia, sebagai media dakwah. Bentuk masjid mirip tempat peribadatan penduduk lokal, sehingga lebih mudah diterima. Di sebagian tempat, yang begitu memuliakan hewan sapi, para da’i menyembelih kerbau sebagai ganti sapi, saat ibadah kurban.
Poinnya, menyesuaikan dengan kebiasaan dan kecenderungan masyarakat setempat, selama tidak menyelisihi Syariat.
Pada poin ini juga, pihak yang membuat bangunan masjid dengan desain yang agak mirip simbol yang dibenci sebagian kalangan umat Islam, terasa kurang bijak. Alasannya mungkin benar, bahwa bentuknya tak sama persis dengan simbol illuminati. Namun, dengan tingkat sensitifitas masyarakat saat ini, tentu lebih bijak untuk tidak menambah konflik.
Memang benar, tak ada desain khusus yang wajib untuk masjid, kecuali bahwa shalatnya harus menghadap kiblat, dan terpenuhi hukum-hukum seputar shalat berjamaah lainnya. Kesamaan fisik dengan bangunan dari peradaban lain, juga tak selalu berarti tasyabbuh bil kuffar yang haram. Bisa jadi, ia bagian dari proses dakwah lewat budaya, yang malah baik hasilnya. Namun kembali lagi, sensitifitas di tengah masyarakat perlu diperhatikan. Dulu para da’i menyesuaikan diri dengan masyarakat, agar dakwah bisa diterima. Jangan sampai saat ini malah memancing konflik yang tak perlu dengan masyarakat yang sudah muslim.
Namun, ini satu sisi. Sisi lainnya, penceramah yang senang mengangkat tema akhir zaman dengan berbagai bumbu cerita heboh, sampai-sampai berfatwa haram shalat di masjid yang dianggap punya simbol illuminati, juga perlu diingatkan. Jangan kebablasan. Jangan berbicara asal-asalan. Jangan membuat keresahan di tengah masyarakat dengan asumsi mentah dan wahm.
Membela agama itu wajib. Menyadari bahwa ada pihak-pihak yang membenci Islam dan ingin menghancurkannya, itu harus, dan kita tak boleh naif dengan menyangka semua hal di dunia ini baik-baik saja dan aman-aman saja. Namun, berbicara dengan data dan sumber yang jelas juga wajib. Tidak berbicara suatu tema dalam agama tanpa ilmu, juga wajib. Membedakan informasi mana yang tingkatnya ‘ilm, zhann, syakk dan wahm itu juga penting. Jangan sampai asumsi mentah dan tidak jelas sumbernya, terus diceramahkan, yang membuat orang-orang menjadi percaya dan paranoid.
Wallahul musta’an.
Leave a Reply