Oleh: Muhammad Abduh Negara
Jika seseorang melakukan perjalanan dengan pesawat dalam waktu yang lama, dan masuk waktu shalat fardhu saat di pesawat tersebut, dan tidak memungkinkan baginya mengerjakan shalat sebelum berangkat (karena belum masuk waktunya, misalnya), dan tidak sempat mengerjakannya pada waktunya jika menunggu pesawat tiba di tujuan, bahkan tidak memungkinkan untuk jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir, maka dia wajib mengerjakan shalat fardhu tersebut dalam pesawat “li hurmatil waqti” (untuk menjaga kemuliaan waktu shalat).
Shalatnya di pesawat ini, ada dua kondisi:
1. Dia bisa mengerjakan shalat fardhu tersebut dengan menghadap kiblat, dan bisa melakukan ruku’ dan sujud secara sempurna. Pada kondisi ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan Syafi’iyyah, apakah dia tetap wajib qadha shalat nantinya, atau tidak.
Pendapat yang mu’tamad menyatakan, dia tetap wajib qadha shalat, karena shalatnya di pesawat tersebut membuat dia tidak bisa shalat menetap di permukaan bumi, yang merupakan syarat sah shalat.
2. Jika dia shalat tanpa menghadap kiblat, atau tidak bisa melakukan ruku’ dan sujud sesuai yang seharusnya, maka dia wajib qadha shalat nantinya, tanpa ada khilaf di kalangan Syafi’iyyah.
TQS (1/201)
Leave a Reply