Oleh: Muhammad Abduh Negara
As-Sayyid Sulaiman An-Nadwi, dalam makalah beliau “At-Tawazun Wa Al-I’tidal”, yang dimuat di kitab “Al-Manhaj Al-Islami Li Al-Wasathiyyah wa Al-I’tidal”, karya Dr. Qadhi ‘Abdur Rasyid, menyatakan:
“Tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih utama daripada ibadah, namun meskipun begitu, Islam tetap memerintahkan kita untuk memperhatikan aspek tawazun dan i’tidal, termasuk sisi yang sangat agung ini (yaitu ibadah).
Sikap tawazun dan i’tidal dalam ibadah ini, terwujud dengan tidak memperbanyak ibadah yang menyebabkan taqshir (kekurangan) dalam amal dan tanggung jawab lainnya. Juga tidak mengurangi ibadah, yang menyebabkan kelalaian dan pengabaian terhadap ibadah tersebut.
Ketika ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu menyibukkan diri dengan banyak shalat di malam hari dan puasa di siang hari, sehingga menyebabkan ia terabaikan dari memenuhi hak istrinya dan tanggung jawabnya yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, dan memerintahkannya untuk bersikap seimbang dalam hal tersebut.
اتق الله يا عثمان، فإن لأهلك عليك حقا، ولضيفك عليك حقا، ولجسدك عليك حقا، صم وأفطر، وصل ونم
“Bertaqwalah kepada Allah, hai ‘Utsman. Keluargamu memiliki hak atasmu, tamumu memiliki hak atasmu, dan tubuhmu memiliki hak atasmu. Puasa dan berbukalah, shalat dan tidurlah.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).”
Selesai kutipan dari As-Sayyid Sulaiman An-Nadwi.
Inilah konsep wasathiyyah (pertengahan/moderasi) dalam Islam, Islam yang tawazun dan I’tidal, Islam yang memperhatikan seluruh sisi kehidupan, dan memberikan haknya masing-masing tanpa bersikap zalim terhadap salah satunya. Islam yang tidak berlebih-lebihan dalam ketaatan, sampai pada tingkat menjatuhkan diri pada kesulitan dan mengabaikan hak yang lain, yang Islam sendiri tidak menginginkan hal tersebut. Sekaligus, tidak bermudah-mudahan dan lalai, yang menjauhkan seseorang dari bimbingan Islam dan akan menjatuhkannya pada kebinasaan.
Dalam kitab “Shina’ah Al-Fatwa Fi Al-Qadhaya Al-Mu’ashirah”, karya Dr. Quthb Ar-Raisuni, dalam bahasan “Taf’il Manhaj Al-Wasathiyyah Fi Al-Fatwa”, disebutkan karakteristik khas wasathiyyah dalam Islam, yaitu ia berada di tengah-tengah antara tasyaddud (memberat-beratkan) dan tasahul (meringan-ringankan), antara ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (bermudah-mudahan).
Wasathiyyah Islam berdiri di atas sifat adil, inshaf (proporsional), memilih yang terbaik dari dua kebaikan yang harus dipilih, dan jika harus memilih saat terjatuh pada dua keburukan, maka ia menjauhi yang paling buruk dari dua keburukan tersebut.
Di kitab ini juga disebutkan bahwa wasathiyyah Islam itu bukan melakukan talfiq (campur aduk) antara yang haq dan yang batil.
Konsep wasathiyyah Islam adalah Islam itu sendiri, sejalan dengan manhaj Nabawi, sebagaimana pernah beliau shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam sampaikan semisal, “Saya shalat malam, dan saya juga tidur…”, sesuai dengan konsep Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang jauh dari sikap ghuluw (ifrath) yang merusak, juga sikap taqshir (tafrith) yang menggelincirkan.
Sayangnya, di sebagian kalangan, konsep wasathiyyah Islam ini diubah maknanya, disimpangkan pemahamannya, hingga orang-orang memahami, Islam yang moderat itu adalah Islam yang tidak terlalu terikat dengan aturan-aturan Syariah, dan yang bisa menerima nilai-nilai Barat, tanpa filter dan standar yang jelas. Memang tidak semua dari Barat harus kita tolak, ada yang bisa kita terima, ada yang kita ambil dengan melalui proses pembersihan hal-hal yang kotor, ada juga yang memang harus dibuang karena ia racun bagi peradaban Islam.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam “Dirasah Fi Fiqh Maqashid Asy-Syari’ah” dan “Al-Fatwa Bayna Al-Indhibath Wa At-Tasayyub” menyebutkan satu kelompok yang mengambil nilai-nilai Barat, lalu memaksakannya masuk ke dalam konsep Islam, memberikan “dalih pembenaran” atasnya, meski harus menabrak dalil-dalil yang qath’i, meski harus merobek konsep yang tsawabit dalam Islam.
Orang-orang semacam ini, hakikatnya sedang melakukan talfiq antara yang haq dan batil, mencampur madu dengan racun, memasukkan najis ke air murni, kemudian menamakannya Islam moderat. Orang-orang awam, yang tak punya perhatian terhadap ilmu-ilmu Islam, mengira inilah ajaran Islam yang benar, yang sesuai dengan perkembangan zaman, yang bisa membawa Islam maju peradabannya. Padahal ini sebenarnya menjatuhkan umat Islam ke kubangan lumpur, merusak indahnya peradaban Islam dengan mencampurkan kotoran ke dalamnya.
Mereka misalnya, mengatasnamakan keadilan dan perubahan zaman, ingin menyamakan bagian warisan laki-laki dan perempuan, meski jelas menabrak nash sharih dalam Al-Qur’an. Mereka ada yang membenarkan zina, dengan istilah perluasan makna “milkul yamin”. Ada juga yang membebaskan batasan aurat, dengan alasan perbedaan adat dan tradisi. Semua ini bukan manifestasi konsep wasathiyyah dalam Islam, tapi talfiq antara yang haq dan yang batil.
Wallahu a’lam bish shawab.
Leave a Reply