Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Memperhatikan Adab Terhadap Pengajar

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Setiap pengajar ilmu itu berbeda gaya dan keadaannya. Ada yang berapi-api, ada pula yang tenang. Ada yang full serius mengarah ke tegang, ada yang diselingi dengan guyon yang nyar’i. Ada yang suaranya lantang, ada pula yang pelan.

Hal ini seharusnya tak perlu menjadi permasalahan bagi para pelajar. Tak perlulah menuntut macam-macam pada sang pengajar, dalam konteks ini.

Yang perlu diperhatikan harusnya hanyalah kapasitas ilmu sang pengajar, serta pengamalannya dalam kehidupan. Kapasitas ilmu, ini sangat penting, karena tak dikatakan proses ‘belajar ilmu’ jika pengajarnya sendiri tak berilmu. Tak sah disebut proses ‘thalabul ‘ilmi’, tak tepat pula diembel-embeli dengan berbagai keutamaan proses menuntut ilmu.

Memang benar, pada kondisi tertentu, di banyak tempat, kita mungkin kesulitan menemukan guru yang punya kapasitas ilmu sangat mumpuni, mendekati level ulama-ulama besar di masa lalu. Dalam hal ini, bisa berlaku pepatah “tak ada rotan, akar pun jadi”. Jika tak ada ulama, maka thaalib pun bisa mengajar, sesuai dengan kapasitasnya. Yang penting, semua yang ia sampaikan berdasarkan ilmu, punya landasannya dari nash dan pendapat ulama terdahulu.

Tentang pengamalan, ini juga sangat penting. Salah satu adab terpenting terhadap ilmu adalah mengamalkannya. Seorang pengajar ilmu, haruslah terlihat atsar ilmu tersebut pada dirinya, dari usahanya menjauhi berbagai kemaksiatan, dari akhlaknya yang terpuji, dari lisan dan tulisannya yang terjaga.

Ini bukan berarti murid boleh men-tajassus-i gurunya. Apa yang tersembunyi tak perlu kita korek-korek. Penilaian hanya pada yang nampak dan ditampakkan. Sedangkan yang batin dan tersembunyi, biarlah itu menjadi tanggung jawabnya di hadapan Allah ta’ala kelak.

Ilmu dan amal, inilah yang perlu dilihat dari seorang guru. Bukan keahlian retorika, penguasaan panggung, dan tetek-bengek lainnya. Dalam banyak hal, murid lah yang harus tahu adab dalam majelis ilmu. Jika sang pengajar volume suaranya rendah, santrilah yang harus ‘melebarkan’ telinganya, dan memusatkan perhatiannya terhadap ilmu yang diajarkan. Tinggalkan gadget, hindari bicara sesama santri, dan ‘lupakan’ sejenak persoalan- persoalan di luar majelis.

Jika sang guru tak ada guyon sedikitpun, serius saja dari awal sampai akhir, maklumilah. Lagi pula, ini majelis ilmu, bukan stand up comedy. Majelis ilmu bukan stand up comedy, ilmu bukan lawakan dan akan hilang kewibawaannya jika dibawakan ala stand up comedy.

Guyon sedikit wajar saja, selama tidak jatuh pada keharaman, selama hanya berupa selingan. Namun, ini bukan syarat sah majelis ilmu, hingga setiap pengajar ‘diwajibkan’ untuk melontarkan guyonan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply