Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Mengapa Ada yang Membolehkan dan Ada yang Mengharamkan?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Diin Islam sudah sempurna dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam, juga ditandai dengan ayat “اليوم أكملت لكم دينكم…”. Karena itu, mengada-adakan hal baru dalam agama yang tidak ada asalnya dari ajaran yang dibawa Nabi, itu tercela. Bahkan pelakunya diancam dengan ancaman neraka, sebagaimana disebutkan dalam Hadits yang sangat masyhur.

Namun dalam tataran praktisnya, umat Islam berbeda pemahaman dalam menerapkan konsep umum di atas.

Dari sisi ajaran, secara sederhana, bolehlah syariah yang sifatnya ‘amaliyyah kita bagi menjadi dua, yaitu ibadah dan muamalah.

Ibadah cenderung lebih ketat dari muamalah, dan ia sifatnya tauqifi (harus ada dalilnya). Karena itu, sebagian ulama membangun kaidah, asal dari ibadah itu adalah haram, kecuali ada dalil yang menunjukkan masyru’-nya ia. Sebagian ulama lain tidak menggunakan istilah ini. Namun, mereka sepakat ibadah lebih ketat daripada muamalah.

Semua sepakat bahwa mengada-adakan hal baru dalam ibadah, yang tidak ada asalnya dalam syariat agama ini, itu haram, terlarang. Termasuk menambah atau menguranginya. Karena itu, semua sepakat bahwa shalat maghrib 4 rakaat itu bid’ah dan terlarang. Demikian pula tidak ada yang berpendapat bahwa puasa Ramadhan itu hanya dikerjakan sampai bergesernya matahari ke arah barat setelah tengah hari. Demikian juga, haram melaksanakan shalat dengan tata cara yang berbeda dengan yang telah mujma’ ‘alayh, misalnya dalam satu rakaat sujud dulu baru ruku’, atau shalat lima waktu tanpa ruku’ dan sujud.

Namun, dalam beberapa hal ada perbedaan. Sebagian ulama menyatakan, ibadah yang terdapat asalnya pun dalam syariah, jika kemudian dibuat aturan khusus yang bukan berasal dari Nabi, jatuhnya juga bid’ah dan terlarang. Misal, tahlilan. Mengucapkan dzikir لا إله إلا الله itu disyariatkan, semua sepakat. Namun jika ia dibatasi dengan jumlah tertentu, dibaca secara berjamaah di waktu tertentu, ini yang diperselisihkan.

Yang membolehkan hal ini, bahkan mentradisikannya, salah satunya beralasan dengan riwayat ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang mentradisikan shalat tarawih di masjid dipimpin oleh seorang imam. Qiyamul lail di bulan Ramadhan memang dilakukan Nabi, bahkan pada beberapa waktu dilakukan secara berjamaah. Namun, dilakukan secara berjamaah sebulan penuh setelah shalat ‘Isya, di masjid, dengan satu imam, belum pernah dilakukan Nabi. Karena itu, ‘Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Inilah landasan mereka yang membolehkan menyusun kaifiyyah (tata cara) tertentu, meski tidak ada dalilnya secara khusus untuk kaifiyyah tersebut, selama “isi”-nya tetap masyru’.

Adapun tentang qunut shubuh, cara turun dari sujud, basmalah dalam Al-Fatihah, dan semisalnya. itu hanyalah perbedaan riwayat Hadits dan pemahaman terhadap nash. Yang ini lebih mudah diterima. Sedangkan yang saya sebutkan sebelumnya, lebih rumit.

Sedangkan muamalah, ia jauh lebih longgar. Bahkan, mayoritas ulama saat ini berpegang pada kaidah, “Hukum asal muamalah itu adalah mubah, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya”. Meskipun ada juga yang tidak menerima kaidah ini, tapi jelas semua sepakat muamalah lebih longgar dibandingkan ibadah.

Karena itu, dalam bab muamalah, ulama banyak menulis kaidah-kaidah penting tentang muamalah, terutama hal-hal yang terlarang di dalamnya. Jika telah lewat “sensor” kaidah-kaidah ini, berarti ia boleh dilakukan.

Penyebab perbedaan yang terjadi dalam bab ini adalah perbedaan dalam ketat dan longgarnya kaidah. Ada yang bikin kaidah sangat ketat, ditambah pengaplikasian yang cenderung memberatkan. Ada juga yang membangun kaidah yang cukup longgar, dan secara praktis pun ringan dan terkesan oleh sebagian orang “seakan semua muamalah itu mubah”.

Leave a Reply