Oleh: Muhammad Abduh Negara
Air yang dipanaskan di bawah terik matahari (air musyammas) makruh digunakan untuk thaharah, menurut pendapat yang masyhur di dalam madzhab, jika itu terjadi di negeri yang beriklim panas, dan airnya di wadah logam selain emas dan perak.
Sedangkan air yang dipanaskan dengan api (air musakhkhan) tidak makruh digunakan, kecuali jika ia masih sangat panas, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ar-Raudhah.
Mengapa dua hal ini dibedakan, padahal ia sama-sama air yang dipanaskan?
Perbedaannya adalah, air yang dipanaskan di bawah terik matahari, bisa membuat serpihan-serpihan kecil pada wadah air itu mengelupas dan itu bisa menyebabkan penyakit kusta. Sedangkan air yang dipanaskan oleh api, api tersebut bisa menghilangkan bekas-bekas serpihan yang mengelupas tersebut, sehingga potensi dhararnya menjadi hilang.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Mathali’ Ad-Daqaiq Fi Tahrir Al-Jawami’ Wa Al-Fawariq, karya Imam Jamaluddin Al-Isnawi Asy-Syafi’i, Juz 2, Halaman 11, Penerbit Dar Asy-Syuruq, Kairo, Mesir.
Catatan tambahan: Menurut Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, semua riwayat Hadits dan atsar yang menyebutkan air musyammas menyebabkan penyakit kusta, dhaif berdasarkan kesepakatan ulama Hadits. Selain itu, juga tidak ditemukan pernyataan para dokter tentang potensi penyakit kusta pada air musyammas ini. Karena itu, An-Nawawi menguatkan pendapat tidak makruhnya air musyammas untuk thaharah. Wallahu a’lam.
Leave a Reply