Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Mengapa Banyak Ulama Menerima Negara Demokrasi?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Mengapa banyak ulama menerima negara demokrasi (Republik) atau minimal tak mewajibkan untuk mengubahnya menjadi Khilafah misalnya?

Jawabannya, karena keberadaan negara demokrasi itu sudah ada dan berlaku di tengah umat Islam. Faktanya, umat Islam sudah berada di negara dengan sistem demokrasi, suka atau tidak suka.

Pilihannya, mengakui keabsahannya, atau tidak mengakuinya namun diam, atau mengupayakan untuk mengubahnya. Mengubahnya pun, dengan cara perlahan atau dengan cara cepat (revolusioner).

Upaya perubahan dengan cara cepat dan revolusioner ini, yang dikhawatirkan oleh sebagian ulama, akan melahirkan ‘chaos’ dan pertumpahan darah sesama muslim. Karena itu, mereka memilih, lebih baik bertahan dengan kondisi sekarang, dibandingkan melakukan perubahan secara revolusioner, berharap menuju sistem yang lebih baik, karena upaya itu berpotensi melahirkan kerusakan yang lebih besar.

Para pegiat Khilafah, apalagi yang berupaya mewujudkannya secara revolusioner atau inqilabi atau membalik semua keadaan dalam waktu cepat, harus memahami cara berpikir sebagian ulama yang menolak cara mereka ini. Mereka melihat “dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (menolak potensi mafsadat didahulukan daripada meraih peluang maslahat).

Jangan sampai anda secara naif mengatakan, “Khilafah yang berasal dari Islam dan ada dalilnya ditolak, sedangkan demokrasi yang berasal dari Barat dan tidak ada landasan dalilnya malah didukung”, tanpa memperhatikan kondisi. Harusnya dipahami, perbandingannya adalah, negara demokrasi yang sudah ada saat ini dan kita hidup di dalamnya, dengan negara Khilafah yang masih angan-angan.

Seandainya kita di negara Khilafah, kemudian demokrasi mau masuk, saya yakin sikap para ulama tersebut tentu berbeda, karena realita yang ada di hadapan mereka berbeda.

Jadi?

Kita tentu mendukung upaya perbaikan/ishlah dalam seluruh sisi kehidupan, termasuk dalam ishlah negara, tapi berupaya agar ia tak melahirkan mafsadat yang lebih besar, sedangkan tujuannya ternyata tak tercapai juga, harus benar-benar diperhatikan dan diperhitungkan. Sisi maslahat dan mafsadat menuju ke arah sana, harus diperhatikan. Jangan asal lari, malah tabrak sana tabrak sini.

Catatan:

Tulisan saya ini tidak berlaku untuk pendukung sekularisme, yang memang sama sekali tak menginginkan Syariat Islam hidup di negeri ini. Untuk orang seperti mereka, kita beda kolam. Lanaa a’maalunaa wa lakum a’maalukum.

Leave a Reply