Oleh: Muhammad Abduh Negara
Mengkritik da’i berbeda dengan menjatuhkan da’i.
Contoh menjatuhkan da’i itu semisal, “Orang itu tidak layak berdakwah. Harus dilarang.”, dan semisalnya.
Hal semacam ini, tidak selayaknya dilakukan, pada seorang da’i yang masih banyak kebaikannya, masih jelas manfaatnya bagi umat Islam, meskipun memiliki kesalahan dan kekeliruan pada sekian persoalan.
Ini hanya tepat diberlakukan kepada para penyebar kesesatan, yang mayoritas ajaran yang dia jajakan adalah ajaran menyimpang berdasarkan kesepakatan ulama.
Adapun mengkritik da’i, itu tidak masalah, selama da’i itu memang salah atau keliru pada poin yang dikritik tersebut, dan selama kesalahannya memang layak dikritik. Contoh da’i salah dalam memberikan fatwa, karena salah dalam memahami dalil atau tashawwur obyek yang dihukumi, maka bagi yang paham, silakan mengkritiknya. Jika kesalahan sang da’i itu tersebar di media sosial, silakan berikan kritik di media sosial juga.
Namun kalau kesalahannya, hal-hal yang sulit dihindari, misal kepeleset lidah, ingin menyebut ‘Umar malah mengatakan ‘Amr misalnya, tapi konteks keseluruhan pembicaraannya tidak keliru. Yang begini ini, lebih baik dimaklumi saja. Sang da’i sendiri, setelah selesai menyampaikan, kemungkinan juga sadar bahwa yang dia ucapkan itu keliru karena kepeleset lidah.
Ada yang ghuluw, begitu mudah menjatuhkan seorang da’i, hanya karena beda pendapat dengan gurunya misalnya. Ada juga yang ghuluw, dengan menolak semua kritik pada da’i idolanya, meski kritik tersebut benar dan disampaikan secara baik. Dua-duanya ghuluw, dan sikap semacam ini tidak layak dipertahankan.
Leave a Reply