Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saya pernah berdebat dengan beberapa asatidz di FB. Salah satunya dengan Ust. Muafa seputar bahasan jodoh dan taqdir. Namun, meski perbedaannya cukup sengit, saya masih mendapatkan adab berdiskusi yang baik dari sekian asatidz tersebut. Minimal, mereka masih menghargai saya sebagai lawan diskusinya, menanggapi secara santun, dan tidak sedikit pun bernada merendahkan pribadi. Kalau saling melemahkan argumen lawan, itu hal yang biasa.
Namun, saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang diustadzkan di komunitas tertentu, yang saat saya serius, ia malah memunculkan gambar emoticon tertawa berukuran besar beberapa kali. Dan dari konteksnya, jelas ia sedang mengejek saya. Melihat hal itu, dan mempertimbangkan beberapa kali postingan FB-nya yang menyindir saya dengan keras dan tanpa sikap adil, saya memilih memblokir yang bersangkutan.
Pengalaman lain, beberapa akun ada yang secara konsisten memberi emoticon tertawa di beberapa komentar saya. Jika sekali, alasan kepencet tidak sengaja, mungkin bisa diterima. Tapi kalau berkali-kali, tentu saya tak sepolos dan senaif itu.
Ditambah setelah saya cek profil yang bersangkutan, dan melihat latar belakang afiliasi atau kelompoknya, saya sadar ternyata ia adalah salah satu oknum (entah berapa banyak jumlahnya di afiliasi/kelompok tersebut), yang tak bisa menerima perbedaan pendapat pada tema yang menjadi perhatian kelompoknya. Dan memang, komentar-komentar saya berseberangan dengan yang dipahami kelompoknya atau difatwakan oleh tokoh di kelompoknya.
Inilah. Seringkali seseorang masuk ke ranah perdebatan atau menyimak perdebatan, tapi lupa menjaga akhlak dalam berdebat. Menertawakan dan mengejek lawan diskusi, yang sedang serius mengajukan argumentasinya, bukanlah sikap yang pantas dilakukan. Apalagi, argumentasi yang diajukan, merupakan argumentasi yang diambil dari sebagian ulama rujukan dan pantas diperhatikan.
Leave a Reply