Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dalam penyebutan pendapat dalam satu persoalan fiqih, ada dua kondisi yang berbeda:
1. Penyebutan dalam arti penukilan pendapat satu madzhab atau seorang ulama
2. Penyebutan dalam arti fatwa atau irsyad untuk diamalkan
Dua kondisi ini, bisa saja digabungkan dalam satu waktu, dan ini mungkin yang dilakukan oleh sebagian dai dalam ceramah, kajian maupun tulisannya. Dia menukil pendapat satu ulama, sekaligus ‘memfatwakan’ pendapat tersebut pada jamaahnya.
Namun dua kondisi ini juga bisa dipisahkan. Dr. Wahbah Az-Zuhaili misalnya, punya kitab Al-Fiqh Asy-Syafi’i Al-Muyassar yang menjelaskan pendapat-pendapat resmi dalam madzhab Syafi’i sesuai penelitian beliau, namun beliau juga punya kumpulan fatwa yang tidak selalu sesuai dengan pendapat dalam madzhab Syafi’i.
Atau Imam An-Nawawi yang menulis Minhaj Ath-Thalibin untuk mengumpulkan pendapat-pendapat mu’tamad dalam madzhab Syafi’i, dan beliau juga punya ikhtiyarat (pilihan pendapat) yang dimuat dalam Al-Majmu’ atau kitab lainnya yang berbeda dengan mu’tamad madzhab.
Mutaakhkhirin Syafi’iyyah pun, kadang menyebutkan pendapat untuk difatwakan yang berbeda dengan mu’tamad madzhab, sebagai solusi bagi umat yang mengalami kesulitan mengamalkan mu’tamad madzhab tersebut.
Sebagian ulama juga membedakan majelis kajian, antara majelis ta’lim atau tadris (pengajaran) dan majelis penyampaian fatwa. Konteks tadris adalah menjelaskan isi kitab muqarrar (kitab yang diajarkan) sesuai yang diinginkan penulis, agar para santri memahami isi kitab tersebut dengan baik. Entah si pengajar mengamalkan pendapat dalam kitab tersebut, atau memilih pendapat yang berbeda. Sedangkan majelis fatwa adalah penyampaian pendapat untuk diamalkan oleh si peminta fatwa (mustafti).
Karena itu, saat beberapa waktu lalu sempat ramai kritik terhadap tulisan saya tentang qardh dalam madzhab Syafi’i, ada dua pihak yang meramaikan:
1. Para dai yang mengkritik tulisan tersebut dan menganggapnya keliru memahami pendapat madzhab Syafi’i. Dan poin ini sudah saya jelaskan, bahwa yang saya sebutkan itu tidak keliru, dan kritik mereka yang keliru.
2. Kalangan awam yang terkejut, karena yang saya tulis berbeda dengan yang mereka praktikkan selama ini.
Untuk kalangan awam ini, seandainya mereka jeli memahami tulisan tersebut, tentu tidak perlu heboh. Mari kita lihat poinnya:
1. Saat itu saya tulis “tidak boleh”. Nah yang perlu dipahami, sesuatu yang tidak boleh, belum tentu berkonsekuensi akadnya tidak sah. Sehingga tulisan tersebut bukan berarti menyatakan akadnya tidak sah sepenuhnya, namun (sebagaimana diterangkan pada tulisan-tulisan berikutnya) hanya “penetapan waktu”-nya yang tidak dianggap.
2. Tulisan itu hanya menyebutkan pendapat madzhab Syafi’i. Saya tidak sedang ‘berfatwa’ atau mewajibkan semua yang membaca untuk mengikuti pendapat tersebut.
Menyebutkan pendapat satu ulama atau satu madzhab, tidak berarti saya mengamalkan pendapat tersebut, apalagi ‘memfatwakan’ atau mewajibkannya pada pembaca.
Semoga bermanfaat.
Leave a Reply