Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

“Menyelisihi” Ulama Terdahulu, Belum Tentu Penyimpangan Beragama

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Kesalahan Syahrur dan ‘Abdul ‘Aziz bukanlah karena ia mengajukan pemikiran yang berbeda dengan yang pernah dibahas para ulama terdahulu. “Menyelisihi” (dalam tanda petik) para ulama terdahulu, tak selalu berarti penyimpangan.

Para ulama misalnya menggagas konsep “tsawabit” dan “mutaghayyirat”. Ada hukum-hukum Islam yang kokoh dan tak boleh berubah, dan ia bersumber dari dalil-dalil nash yang sharih dan disepakati oleh para ulama (baik sepakat atas satu pendapat, maupun sepakat atas beberapa pendapat dan terlarang mendatangkan pendapat baru).

Ada juga hukum yang bisa berubah karena perubahan zaman, tempat dan keadaan, seperti yang disebutkan -misalnya- oleh Ibnul Qayyim dan As-Suyuthi. Ini biasanya pada hukum yang tidak ada nash yang sharih yang berbicara tentangnya. Karena itu para ulama berijtihad dengan melihat beberapa faktor, termasuk ‘urf, sadd adz-dzarai’, mashalih mursalah, dan lain-lain.

Pada hukum-hukum yang bisa berubah ini, tak wajib kita terpaku pada hal-hal yang sudah dibahas oleh para ulama terdahulu. Misal dalam bab siyasah syar’iyyah, sebagian ulama kontemporer menyatakan, boleh memberikan batasan masa kepemimpinan bagi pemimpin tertinggi dalam sebuah negara, meski hal itu belum pernah terjadi di masa lalu. Di masa lalu, setelah dibai’at pemimpin memimpin seumur hidup. Sekarang, menurut sebagian ulama, boleh saja dibatasi misalnya 5 tahun dan setelahnya boleh dipilih sekali lagi, atau 7 tahun kemudian tak boleh dipilih lagi (seperti usulan Effendi Ghozali).

Contoh lain, kebolehan berbilangnya negara, karena kondisi geografis dan politik yang membuat umat Islam kesulitan bersatu dalam satu negara. Di masa lalu, umat Islam hidup di bawah satu negara saja, dan ini kondisi paling ideal. Namun jika itu belum memungkinkan dan tak bisa dipaksakan, maka sah-sah saja umat Islam hidup di berbagai negara seperti saat ini.

Atau gagasan ijtihad jama’i di masa sekarang, yang di masa lalu tradisi tersebut belum ada. Dulu ijtihad adalah ijtihad per individu mujtahid. Saat ini, karena syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan ulama terdahulu sulit dipenuhi secara ideal, di sisi lain keperluan atas jawaban berbagai persoalan kontemporer mendesak, dan bertemunya para ulama di satu tempat cukup mudah, maka ijtihad jama’i sebagai ganti ijtihad fardi, menjadi salah satu solusi.

Dan banyak lagi pembahasan lainnya.

Lalu, penyimpangan Syahrur dan ‘Abdul ‘Aziz di mana? Penyimpangannya yang paling utama, keduanya tidak memiliki otoritas untuk berijtihad, dan “hasil ijtihad”-nya pun menyelisihi hal yang tsabit dan prinsip dalam agama, bahkan perkara yang ma’lum minad diin bidh dharurah. Ditinjau dari sisi maqashid Syari’ah pun, hasil kajiannya tersebut berpotensi menimbulkan dharar besar bagi masyarakat Islam.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply