Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saat membahas tentang ijtihad, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam “Al-Mustashfa” (Juz 2, Hlm. 645, Sidra, Mesir) menyatakan:
وَلَيْسَ مِنْ شَرْطِ الْمُفْتِي أَنْ يُجِيبَ عَنْ كُلِّ مَسْأَلَةٍ، فَقَدْ سُئِلَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ عَنْ أَرْبَعِينَ مَسْأَلَةً، فَقَالَ فِي سِتٍّ وَثَلَاثِينَ مِنْهَا: لَا أَدْرِي. وَكَمْ تَوَقَّفَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ، بَلِ الصَّحَابَةُ، فِي الْمَسَائِلِ. فَإِذًا لَا يُشْتَرَطُ إلَّا أَنْ يَكُونَ عَلَى بَصِيرَةٍ فِيمَا يُفْتِي، فَيُفْتِي فِيمَا يَدْرِي وَيَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي، وَيُمَيِّزُ بَيْنَ مَا لَا يَدْرِي وَبَيْنَ مَا يَدْرِي، فَيَتَوَقَّفُ فِيمَا لَا يَدْرِي، وَيُفْتِي فِيمَا يَدْرِي.
Artinya: “Bukan syarat seorang mufti, ia mampu menjawab setiap persoalan. Malik rahimahullah pernah ditanya empat puluh pertanyaan, dan beliau berkata untuk tiga puluh enam pertanyaan di antaranya dengan: ‘Saya tidak tahu’. Berapa banyak Asy-Syafi’i rahimahullah tawaqquf (tidak menjawab) berbagai persoalan yang ditanyakan, bahkan para Shahabat pun demikian juga. Jadi, yang disyaratkan hanyalah seorang mufti memiliki ilmu atas perkara yang dia fatwakan, sehingga ia hanya berfatwa pada persoalan yang dia tahu hukumnya sekaligus dia sadar bahwa dirinya tahu atas hal tersebut. Juga, dia mampu membedakan perkara yang dia tahu dan yang tidak dia ketahui, sehingga dia bisa tawaqquf (tidak menjawab) pada perkara yang tidak dia ketahui, dan berfatwa hanya pada perkara yang dia tahu hukumnya.”
Catatan:
1. Imam Asy-Syafi’i pernah menyatakan dalam “Ar-Risalah” (Hlm. 49-50, Dar An-Nafais, Libanon), bahwa tidak ada seorang pun dari umat ini yang menguasai As-Sunnah secara keseluruhan dan tidak ada satu pun yang tidak dia ketahui. Jika ilmu seluruh ulama dikumpulkan, maka terkumpul As-Sunnah secara keseluruhan, namun jika ilmu mereka dipisahkan kembali, maka akan hilang penguasaan sebagian As-Sunnah pada masing-masing mereka, dan As-Sunnah yang luput pada seorang ulama, ada pada ulama yang lain.
Pernyataan Asy-Syafi’i ini boleh dikatakan sebagai penegasan, tidak ada seorang ulama pun yang ma’shum dan tidak mungkin salah, karena selalu ada As-Sunnah yang luput dari mereka. Dan hal ini tentu tidak hanya berlaku pada ulama mutaqaddimin seperti beliau dan ulama seangkatan beliau, namun juga ulama generasi berikutnya hingga sekarang. Bahkan, penguasaan Asy-Syafi’i dan ulama semisal beliau terhadap As-Sunnah, jauh lebih luas dari ulama di zaman sekarang.
2. Tidak disyaratkan seorang mufti mujtahid harus menguasai setiap masail fiqih dan mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan pada mereka. Yang disyaratkan hanyalah, mereka berbicara dan berfatwa dengan ilmu. Jika persoalan yang ditanyakan, benar-benar mereka ketahui (‘ala bashirah), mereka sampaikan dan fatwakan hal tersebut. Sebaliknya, jika mereka tidak tahu, atau belum matang hasil penelitian mereka terhadap persoalan tersebut, mereka harus tawaqquf (menahan diri untuk berfatwa).
3. Al-Ghazali saat membahas syarat-syarat ijtihad, menekankan sisi kompetensi dan kematangan ilmu yang diperlukan dalam ijtihad, dan bukan sisi hafalan. Karena itu, misalnya beliau menyatakan tentang penguasaan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, bahwa tidak disyaratkan menghafalnya di luar kepala (لَا يُشْتَرَطُ حِفْظُهَا عَنْ ظَهْرِ قَلْبِهِ) (Hlm. 641).
4. Jika Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i, bahkan para Shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, saja banyak tawaqquf (tidak menjawab) pertanyaan yang diajukan pada mereka, lalu mengapa kita begitu bermudah-mudahan memberikan jawaban atas perkara hukum yang bahkan tidak ditanyakan pada kita?
Para imam rujukan di atas, saking khawatirnya berfatwa tanpa ilmu, mereka tidak mau menjawab kecuali dengan jawaban yang sudah matang dari sisi ilmu dan penelitian. Sedangkan kita, bahkan kadang-kadang pengetahuan kita tentang persoalan yang ditanyakan itu kurang dari 5%, kita sudah berani menjawabnya dengan jawaban yang begitu tegas, seakan itulah hukum Allah ta’ala secara pasti.
Mereka sadar, konsekuensi fatwa mereka adalah surga atau neraka, ridha atau murka, dari Allah tabaraka wa ta’ala, sehingga mereka begitu hati-hati dalam berfatwa. Sedangkan kita, tujuan kita dunia, ingin dianggap berilmu, ingin dianggap faqih, malu kalau tidak bisa menjawab, bahkan bisa jadi tujuan kita adalah harta dunia yang sedikit dan kedudukan di tengah-tengah manusia, khawatir kalau tidak bisa menjawab ditinggalkan oleh jamaah, yang berarti hilang cuan dan popularitas. Wal ‘iyadzu billah.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 22 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 25 Januari 2022 M
Leave a Reply