Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dr. ‘Iyadh bin Nami As-Sulmi dalam “Ushul Al-Fiqh Alladzi Laa Yasa’u Al-Faqih Jahluhu” (Hlm. 20, Dar Ibn Al-Jauzi, Saudi Arabia) menyatakan:
وقد يقول قائل: إن الفقه قد جمع من قبل العلماء السابقين، ودونت فيه الدواوين الكبيرة فلا حاجة إلى البدء من حيث بدأوا، فلم تبق حاجة لدراسة علم أصول الفقه.
والجواب: أن كثرة ما كتب في علم الفقه يدعو طالب العلم إلى تعلم أصول الفقه؛ ليعرض هذه الثروة الفقهية الضخمة التي اختلفت فيها أقوال الفقهاء وتعددت أدلتهم على الميزان العادل، والمحك المظهر للخطأ من الصواب، وهو أصول الفقه، فمن عرف أصول الفقه نظرا وتطبيقا يمكنه أن يعرف من تلك الأقوال والمذاهب ما هو أقرب إلى الحق وأجرى على قواعد الشريعة.
والخلاصة: أن كثرة المؤلفات الفقهية تدعو إلى تعلم هذا العلم والتعمق فيه لنقد الأقوال وبيان الراجح من المرجوح.
Artinya: “Mungkin ada yang mengatakan: fiqih telah dikumpulkan oleh para ulama terdahulu, dan banyak sekali karya tulis di bidang ini yang telah ditulis, maka kita tidak perlu lagi melakukan hal yang telah mereka lakukan, karena itu kita tidak perlu lagi mempelajari ilmu ushul fiqih.
Jawabannya: Kebanyakan kitab-kitab dalam ilmu fiqih tersebut mendorong seorang penuntut ilmu untuk mempelajari ushul fiqih, agar dia bisa menunjukkan kekayaan fiqih yang luar biasa ini, yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para fuqaha dan berbagai dalil yang mereka ajukan, dengan timbangan yang adil dan standar yang jelas, untuk melihat mana yang benar dan mana yang keliru, dan itu adalah ushul fiqih. Siapa saja yang memahami ushul fiqih, secara teori dan praktik, maka dia bisa memilah dari berbagai pendapat dan madzhab tersebut, mana yang lebih dekat pada kebenaran dan lebih sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.
Ringkasnya: Kebanyakan kitab-kitab fiqih yang ada, mendorong untuk mempelajari ilmu ini dan mengkajinya secara mendalam, agar kita bisa meninjau secara kritis berbagai pendapat yang ada dan mengetahui pendapat yang rajih dan yang marjuh.”
Catatan:
1. Kita perlu memberi penekanan pada redaksi, “Siapa saja yang memahami ushul fiqih, secara teori dan praktik, maka dia bisa memilah dari berbagai pendapat dan madzhab tersebut, mana yang lebih dekat pada kebenaran dan lebih sesuai dengan kaidah-kaidah syariat.”
Dengan penguasaan ushul fiqih yang baik dan penelaahan yang mendalam terhadap berbagai pendapat ulama dan dalil serta argumentasi yang mereka ajukan, kita baru bisa mengetahui mana pendapat yang kuat dan lebih dekat pada kebenaran, dan mana pendapat yang lebih lemah. Artinya, tanpa penguasaan ushul fiqih yang baik, kita tidak akan mampu melakukannya.
2. Ajakan “kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”, jika yang dimaksud adalah, mari kita mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah dari berbagai pendapat ulama, maka hal itu meniscayakan wajibnya belajar ilmu ushul fiqih. Karena tanpa ilmu tersebut, ajakan tersebut hanya slogan kosong tanpa arti, dan hanya menimbulkan keriuhan yang tidak ada gunanya.
3. Belajar ilmu ushul fiqih hukumnya fardhu kifayah bagi umat Islam, jika sudah ada sebagian orang yang mempelajarinya sampai kadar mencukupi, gugur kewajiban atas yang lain. Namun bagi orang yang ingin masuk ranah penelitian terhadap dalil dan pendapat ulama, mengetahui mana pendapat yang rajih (kuat) dari yang marjuh (lemah), dan semisalnya, maka fardhu ‘ain baginya mempelajari ilmu ushul fiqih. Jika dia berani bicara dalam hal ini, tanpa penguasaan yang baik dalam ushul fiqih, dia telah bicara tanpa ilmu, dan itu satu keburukan yang amat besar.
4. Orang awam tidak wajib menelaah berbagai pendapat ulama dan meneliti dalil-dalil yang digunakan oleh para ulama tersebut, bahkan hal tersebut tidak ada gunanya baginya, karena dia tidak memiliki alat dan kapasitas untuk melakukannya. Cukup baginya meminta fatwa hukum kepada seorang alim yang dia percaya kapasitas keilmuannya, kemudian dia amalkan hasil fatwa tersebut, tanpa harus mengetahui kerumitan sisi pendalilan dan metode pengambilan kesimpulan hukumnya.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 24 Jumada Ats-Tsaniyyah 1443 H / 27 Januari 2022 M
Leave a Reply