Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Musafir Menginap Di Mana?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ada banyak perincian dalam persoalan إكرام الضيوف (memuliakan tamu). Salah satu poin yang jelas adalah, bahwa “tamu” yang dimaksud di sini, adalah tamu musafir. Jadi perintah Nabi untuk memuliakan tamu, dengan menjamu mereka, menghidangkan mereka makanan dan minuman, bahkan menyediakan tempat tinggal/menginap untuk mereka, adalah tamu musafir.

Seandainya bab الضيافة (menjamu tamu) ini diterapkan, mungkin kita tidak perlu mengubah masjid jadi “tempat menginap” bagi musafir, karena jika mengikuti As-Sunnah, itu adalah tugas penduduk muslim, bukan tugas masjid. Jadi bagi musafir yang kemalaman, dia bisa mengetuk pintu rumah seorang muslim, dan menginap di rumahnya.

Hukum الضيافة ini diperselisihkan oleh ulama. Mayoritas ulama menyatakan, hukumnya mustahab. Sedangkan sebagian ulama, termasuk Imam Al-Laits dan Imam Ahmad, menyatakan hukumnya wajib.

Hanya saja, menurut Imam Ahmad, kewajiban ini hanya dibebankan bagi penduduk qaryah dan badiyah, dan tidak pada penduduk kota. Qaryah ini semacam kampung atau dusun kecil, yang tidak punya kelengkapan fasilitas seperti kota. Sedangkan badiyah adalah pemukiman nomaden. Nah, jika ada orang yang safar melewati qaryah atau badiyah ini, dan ingin dijamu oleh penduduknya, maka wajib bagi penduduk qaryah dan badiyah ini menjamunya, sehari semalam.

Sedangkan penduduk kota, tidak wajib menjamu tamu ini. Mengapa begitu? Karena di kota, tersedia penginapan dan rumah makan, sehingga si musafir tidak terlalu membutuhkan untuk dijamu dan disediakan makanan dan tempat tinggal oleh penduduk kota tersebut.

Dari penjelasan di atas, tampaknya masyru’iyyah الضيافة atau kewajibannya (menurut sebagian ulama), adalah untuk menghindarkan musafir dari kondisi tidak mendapatkan makanan dan tempat menginap, karena itu umat Islam diperintahkan untuk menjamu mereka. Namun ketika kondisi itu tidak ada lagi, dengan tersedianya banyak penginapan dan rumah makan, maka tuntutannya tidak berlaku lagi, minimal menurut sebagian ulama.

Jadi, musafir yang kemalaman, sebaiknya menginap di mana? Di rumah warga dalam rangka menerapkan perintah إكرام الضيوف, atau di masjid sebagaimana yang banyak dikampanyekan belakangan ini, atau di penginapan yang tersedia cukup banyak, baik di kota besar maupun kota kecil? 

Leave a Reply