Oleh: Muhammad Abduh Negara
Saat menjelaskan kandungan Hadits “إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ…”, ‘Alauddin Ibnu Al-‘Aththar (Al-‘Uddah Fi Syarh Al-‘Umdah, Juz 1, Hlm. 43, Dar Al-Basyair Al-Islamiyyah, Libanon) menyebutkan tentang makna lafazh “إنما”:
ولفظة (إنمَّا) للحصر عند جمهور اللُّغويين والأصوليين وغيرهم، فتثبت الحكم في المذكور، وتنفيه عمَّا عداه، ولكنَّ نفيَه عما عداه بمقتضى موضوعها، أو هو من طريق المفهوم، وفيه بحث.
وهي تقتضي الحصر المطلق والمقيد، ويفهم ذلك بالقرائن والسِّياق، فإن دلَّ السِّياق والمقصود من الكلام على الحصر في شيء مخصوص، فَقُلْ به، وإلا فاحملْه على الإطلاق.
Artinya: “Dan lafazh “innamaa” maknanya untuk “hashr” (membatasi) menurut mayoritas ahli bahasa, ahli ushul fiqih dan ulama lainnya, yang berarti dia menetapkan hukum yang disebutkan (setelah lafazh “innamaa), dan menafikan yang tidak disebutkan. Namun, penafiannya atas perkara yang tidak disebutkan, apakah itu konsekuensi secara bahasa, atau disimpulkan melalui mafhumnya, ini ada kajian sendiri.
Dan lafazh ini bisa berkonsekuensi “hashr muthlaq” bisa juga “hashr muqayyad”, dan hal itu bisa diketahui dari konteks dan faktor-faktor yang menyertai. Jika konteks dan tujuan dari perkataan tersebut menunjukkan pembatasan pada sisi tertentu saja, maka kita ikuti itu. Namun jika tidak, maka kita pahami ia sebagai pembatasan secara mutlak.”
Ibnu Al-Mulaqqin (Al-I’lam Bi Fawaid ‘Umdah Al-Ahkam, Juz 1, Hlm. 170-171, Dar Al-‘Ashimah, Saudi Arabia) menyatakan:
وقال الشيخ تقي الدين: تارة تقتضي الحصر المطلق، وتارة تقتضي حصرًا مخصوصًا، ويفهم ذلك بالقرائن والسياق، أي فالأول كقوله تعالى: {إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ}. الحصر ههنا على إطلاقه لشهادة العقول والنقول بوحدانيته تعالى، والثانى كقوله تعالى: {إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرٌ} أي بالنسبة لمن لا يؤمن وإلَّا فصفاته الجميلة [لا تحصر بالبشارة] والشجاعة والكرم وغير ذلك.
Artinya: “Syaikh Taqiyuddin berkata: kadang-kadang ia berkonsekuensi “hashr muthlaq”, dan kadang-kadang berkonsekuensi “hashr makhshush”, dan hal itu bisa dipahami dari konteks dan faktor-faktor yang menyertai. Contoh untuk yang pertama (hashr muthlaq), seperti firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya hanya Allah Tuhan yang Esa”, dan pembatasan pada ayat ini berlaku secara mutlak, berdasarkan kesaksian akal dan naql tentang keesaan-Nya ta’ala. Contoh untuk yang kedua (hashr makhshush), seperti firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan”, yaitu terhadap orang-orang yang tidak mau beriman dengan yang beliau sampaikan. Adapun secara luas, beliau memiliki banyak sekali sifat mulia, seperti pembawa kabar gembira, pemberani, dermawan dan lain-lain.”
Catatan:
1. Saya menulis ini, untuk menunjukkan sedikit kerumitan dalam memahami nash. Yang bahkan, sekadar untuk memahami makna lafazh “إنما” saja tidak mudah. Sebagai contoh:
(a) Dikatakan mayoritas ulama bahasa, ushul fiqih dan lainnya memaknai lafazh ini dengan, “Menetapkan hukum yang disebutkan (setelah lafazh “innamaa), dan menafikan yang tidak disebutkan”. Pernyataan “mayoritas ulama” saja mengindikasikan ada ulama yang tidak sependapat dengan hal ini.
(b) Kemudian tentang “penafian perkara yang tidak disebutkan” itu juga diperselisihkan, apakah konsekuensi dari lafazh tersebut sendiri secara bahasa, atau ia disimpulkan dari mafhumnya. Dan perbedaan ini, sangat mungkin melahirkan perbedaan pendapat dalam kasus-kasus tertentu.
(c) Kemudian, pembatasan atau “hashr” ini, bisa berupa “hashr muthlaq”, yang berarti menafikan semua perkara yang tidak disebutkan tanpa kecuali, bisa juga berupa “hashr muqayyad” atau “hashr makhshush”, yang berarti ia hanya menafikan perkara yang tidak disebutkan pada sisi tertentu saja.
2. Penguasaan terhadap bahasa Arab merupakan sesuatu yang wajib dimiliki oleh siapapun yang ingin memahami agama ini langsung dari dalil-dalilnya. Dan penguasaan yang dimaksud, bukan sekadar bisa berbicara dengan orang Arab, atau menguasai teori nahwu dan sharaf level dasar. Penguasaan yang dimaksud, sampai dia bisa mengetahui kedalaman makna suatu kata dalam bahasa Arab sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Arab terdahulu di masa penguasaan bahasa Arab masih murni dan kuat, memahami muthlaq dan muqayyadnya, memahami ‘amm dan khashnya, dan seterusnya.
3. Sebagian orang, yang bahkan tidak paham sama sekali konsep-konsep dasar tentang mubtada dan khabar, fi’il dan fa’il dan lainnya, sudah berani menyimpulkan hukum langsung dari dalil, dan menganggap pemahamannya itu sebagai kebenaran mutlak yang tidak mungkin salah. Padahal rujukannya hanya terjemah ayat Al-Qur’an, terjemah Hadits Nabi, dan penjelasan penulis buku atau artikel internet yang dia baca yang memuat terjemah ayat dan Hadits tersebut. Ini adalah kerusakan.
Wallahu a’lam.
Banjarmasin, 1 Rajab 1443 H / 2 Februari 2022 M
Leave a Reply