Oleh: Muhammad Abduh Negara
Begini, perlu kita perlu pahami, dalam sejarah, keterpecahan umat Islam ke dalam beberapa negara, sudah terjadi sejak masa awal ‘Abbasiyyah, saat ‘Abbasiyyah yang awalnya mengalahkan Umawiyyah, tidak mampu menyingkirkan sisa-sisa Umawiyyah yang ada di Andalusia. Akhirnya, ‘Abbasiyyah “menyerah” untuk menaklukkan Umawiyyah di Andalusia, dan akhirnya kedua negara ini sama-sama eksis, meski simbol Khilafah saat itu dipegang oleh ‘Abbasiyyah. Dan keadaan semacam ini, terus terjadi, sampai runtuhnya ‘Utsmaniyyah, dan sampai saat ini.
Shalahuddin Al-Ayyubi yang menaklukkan Al-Quds itu mendirikan Daulah Ayyubiyyah, dan berkuasa di Mesir, padahal saat itu ‘Abbasiyyah di Baghdad masih ada. Muhammad Al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel itu sultan ‘Utsmaniyyah, saat ‘Abbasiyyah sebagai simbol Khilafah masih ada. Kepingan Andalusia, satu persatu dicaplok oleh Salibis, itu terjadi saat ‘Abbasiyyah masih ada dan ‘Utsmaniyyah sudah ada.
Karena itu, melihat “nation state” ini kita perlu proporsional. Berbagai negara umat Islam yang ada saat ini, banyak yang lahir di awal abad ke-20, dan ada yang lahir pasca PD 2, setelah melalui proses penjajahan Barat. Kelahiran mereka melalui latar belakang yang berbeda-beda. Satu hal yang mungkin jadi kesamaan, semuanya adalah negara lemah, yang lemah kekuatan militer dan politiknya.
Semua negara ini pun, tidak bisa dipukul rata. Ada yang murni lahir dari paham sekularisme. Ada yang lahir dari hasil kompromi kalangan Islamis dan nasionalis. Ada yang berasaskan Islam, seperti Arab Saudi misalnya (meski kondisi Saudi saat ini memprihatinkan). Saudi pun sebenarnya tidak bisa disebut sebagai “negara bangsa” secara mutlak, karena kelahiran mereka mirip dengan kelahiran berbagai negara besar di masa lalu, seperti ‘Abbasiyyah, ‘Utsmaniyyah, dll., yaitu adanya perebutan kekuasaan, dinasti, dan berasaskan Islam.
Bahwa masing-masing negara ini tidak bisa memimpin seluruh umat Islam saat ini, faktornya banyak. Ada yang memang karena fanatisme kebangsaan, dan ini tercela. Ada yang karena kondisi belum memungkinkan. Ada yang karena kekuatannya yang begitu lemah.
Sebagai contoh, kita tidak bisa memukul rata dan menyamakan antara Arab Saudi yang berasas Islam tapi cenderung nakal belakangan ini, Turki yang lahir dari sekularisme akut namun perlahan mau memperbaiki diri, Afghanistan yang dikuasai oleh muslimin yang komitmen keislamannya kuat, Gaza yang dipimpin oleh kelompok Islam H, dan Indonesia yang masih jadi medan pertarungan gagasan, misalnya.
Masing-masing punya kekhasan sendiri, dan tidak bisa dipukul rata, bahwa semua negara ini adalah nation state, karena itu semua negara ini batil, dan berbagai identitas dari berbagai negara ini haram digunakan. Tidak bisa dipandang secara simplistis seperti ini.
Karena itu, ketika melihat perjuangan muslim P saat ini, dan pejuang H secara khusus, kita harus melihat bahwa ini adalah perjuangan Islam, untuk membebaskan negeri mereka dari penjajah biadab. Dan berbagai simbol yang muncul dari mereka maupun para pendukungnya dari berbagai penjuru dunia, harus dipahami dari sisi ini.
Jadi, bendera P yang berwarna merah, hitam, putih dan hijau tersebut, maupun simbol semangka sebagai gantinya, harus dipahami sebagai salah satu simbol perjuangan melawan penjajah. Bagi yang menggunakan simbol ini, tujuan mereka bukan untuk menegaskan bahwa yang diperjuangkan P itu adalah nasionalisme sempit yang vis a vis dengan Islam. Itu simbol perjuangan melawan penjajah.
Kalau pun anda tidak sepakat dengan simbol tersebut, sebaiknya menahan diri dan menahan lisan serta tulisan anda. Umat Islam sedang punya semangat mendukung para pejuang P melawan penjajah, dengan menggunakan berbagai simbol yang mereka terima, jangan malah dilemahkan dengan narasi yang kontra produktif.
Solusi P itu adalah jihad? Tentu. Dan itu sudah dilakukan oleh para pejuang di sana. Karena itu, berikanlah dukungan semampu anda, dan tidak perlu bernarasi yang melemahkan.
Umat Islam seharusnya bersatu dalam satu kepemimpinan global? Ini adalah cita-cita yang sangat bagus. Tapi kita juga harus berpijak pada realita. Ingat, dua penaklukan gemilang, yaitu penaklukan Al-Quds kedua, dan penaklukan Konstantinopel, terjadi saat umat Islam secara de facto berbilang pemimpin. Jadi, tidak perlu menunggu adanya kepemimpinan global atas seluruh umat Islam, untuk membebaskan P dari penjajahan.
Leave a Reply