Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu –bukan satu-satunya– argumentasi para ulama yang menyatakan, bahwa di zaman sekarang standar nishab zakat uang kertas mengikuti nishab emas adalah, zakat itu dikeluarkan oleh orang kaya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تُؤْخَذُ مِن أغْنِيَائِهِمْ وتُرَدُّ علَى فُقَرَائِهِمْ
Artinya: “(Zakat itu) diambil dari orang-orang kaya kaum muslimin, dan diserahkan pada orang-orang faqir (yang membutuhkan) mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Di masa Nabi, nilai 20 dinar emas itu setara dengan 200 dirham perak. Namun saat ini, nilai perak sangat rendah. Saat ini, nilai 595 gram perak (200 dirham) itu sekitar 9 sampai 10 juta rupiah.
Nah, kita coba tanyakan, apakah orang yang memiliki tabungan sekitar 9-10 juta rupiah dan tersimpan satu tahun itu bisa disebut sebagai orang kaya? Hei… Uang segitu, untuk beli motor Mio saja tidak cukup?!
Karena itu, penetapan nishab zakat uang kertas mengikuti nishab perak, saat ini, tidak bisa mewujudkan prinsip zakat “diambil dari orang-orang kaya”, karena faktanya orang ini tidak kaya. Dia orang kebanyakan. Makan, minum dan beli kebutuhan dasar, mungkin masih mampu, tapi disebut “kaya”, tampaknya tidak.
Sebagian orang berargumen, bahwa menggunakan nishab zakat perak itu lebih maslahat bagi mustahik zakat. Ini sebenarnya bisa dikritisi, dari sisi:
1. Pemilik uang kertas senilai nishab perak itu, tidak bisa disebut orang kaya.
2. Di masa Nabi, 20 dinar emas dan 200 dirham perak itu senilai. Lalu berlalu masa, dan nilai perak turun drastis.
3. Al-ashlu baraa’atudz dzimmah, pada dasarnya seseorang terbebas dari tanggungan kewajiban, termasuk kewajiban terkait hartanya, kecuali ada dalil yang kuat dan cukup meyakinkan yang menyatakan bahwa ia punya kewajiban tersebut.
Padahal, jika bicara zakat dan kemaslahatan mustahik zakat, itu tetap bisa diwujudkan dengan optimalisasi pengumpulan dan penarikan zakat dari orang-orang kaya sebenarnya. Sudahkah lembaga-lembaga zakat dan masyarakat muslim optimal mengumpulkan zakat dari para konglomerat yang memiliki harta wajib zakat puluhan bahkan ratusan miliar, atau minimal dari para eksekutif dan profesional yang memiliki penghasilan bulanan di atas 50 juta rupiah?
Jika belum optimal, mengapa tidak melakukan optimalisasi, dan malah ‘mengincar’ harta orang-orang yang masih struggle dalam kehidupannya?
Keadaan semacam ini juga, yang menjadi alasan para penggagas konsep “zakat profesi”. Menurut mereka, agak sulit diterima, para pemilik ternak, kebun dan lahan pertanian diambil zakatnya, padahal kebanyakan mereka (individu, bukan korporasi) sebenarnya tidak kaya-kaya sekali, namun para karyawan perusahaan besar atau para profesional seperti dokter spesialis, pengacara ternama, dll., malah dianggap tidak wajib mengeluarkan zakat, hanya karena gaya hidup glamour mereka, membuat uang mereka yang mencapai nishab (standar emas) tidak pernah tersimpan selama setahun (haul).
Leave a Reply