Oleh: Muhammad Abduh Negara
Orang awam, termasuk sebagian penceramah, tidak terbiasa dengan pembahasan fiqih secara terperinci. Akibatnya banyak dari mereka melahirkan “fatwa” dengan gebyah uyah tidak karuan.
Dulu saat saya tanyakan, apa hukumnya pacaran LDR? Orang-orang menjawab, ya haram. Saya tanyakan, di sisi mana keharamannya? Mereka jawab, ya haram, karena pacaran itu haram, mau ketemuan langsung, atau LDR-an, selama pacaran, haram hukumnya.
Nah di sini masalahnya. Fiqih itu tidak menghukumi istilah. Ia menghukumi hakikat dari istilah itu, yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Misal, bir itu haram karena ‘illah memabukkan, lalu apakah “bir pletok betawi” ikut jadi haram juga? Misal lain, babi itu jelas haram berdasarkan nash, lalu apakah hewan laut yang disebut “bulu babi” ikut haram juga?
Kembali ke pacaran. Apa sih yang yang menyebabkan pacaran itu diharamkan?
1. Apakah jatuh cinta haram?
2. Atau terbayang-bayang wajah lawan jenis yang haram?
3. Atau berduaan di kamar yang haram?
4. Atau ciuman dan pelukan yang haram?
5. Bagaimana kalau sekadar kirim-kiriman surat tanpa ketemuan langsung?
6. Bagaimana kalau cuma telepon-teleponan?
7. Bagaimana kalau bertemu, tapi didampingi mahram?
Catatan bagi orang yang kurang mampu menggunakan akalnya, saya di sini tidak sedang berfatwa bahwa pacaran itu boleh selama begini dan begitu. Tidak. Bahkan inti tulisan ini, bukan tentang pacaran. Ia hanya contoh saja. Yang saya ingin sampaikan di sini, kalau belum paham kerumitan fiqih dan perinciannya, jangan berani-berani berkata, ini halal dan ini haram, kecuali pada perkara yang jelas ma’lum minad diin bidh dharurah.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply