Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Pemilu Demokrasi Dan Maslahat-Mafsadat

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Persoalan Siyasah Syar’iyyah (Politik Islam), sebagaimana ditegaskan oleh banyak ulama, termasuk Majma’ Fiqih Islami, itu timbangannya adalah maslahat dan mafsadat. Termasuk pembahasan boleh tidaknya terlibat (baik mencalonkan diri, maupun sekadar ikut memilih) dalam pemilu demokrasi. Yang perlu dilihat adalah, mana yang lebih besar, maslahat atau mafsadat bagi Islam dan umat Islam.

Karena pertimbangannya adalah maslahat dan mafsadat, tentu perlu memperhatikan, situasi dan kondisi, tempat dan waktu. Berbeda keadaan, berbeda pula penyikapannya. Kondisi di mana terjadi ‘pertarungan’ antara calon non-muslim (baca: kafir) yang didukung oleh konglomerat yang dikenal tidak pro umat, berhadapan dengan calon muslim, yang didukung oleh para du’at, tentu berbeda dengan kondisi di tempat lain yang misalnya, calon-calon yang berhadapan hampir tak ada bedanya.

Oh ya, pihak-pihak yang menolak aspek pertimbangan maslahat dan mafsadat dalam politik Islam, silakan perbanyak baca dan dengar.

Kemudian, persoalan keterlibatan dalam pemilu demokrasi ini, adalah persoalan kontemporer. Maka yang dirujuk haruslah ulama kontemporer, karena mereka yang melihat faktanya dan merasakan efeknya. Lagi pula, tidak mungkin ada fatwa spesifik dari ulama klasik tentang persoalan ini, karena faktanya belum ada di masa mereka.

Lalu bagaimana pendapat para ulama kontemporer?

Ada sebagian kecil yang menolak dan mengharamkan sama sekali, keterlibatan dalam pemilu demokrasi. Namun sebagian besarnya, memperbolehkan, tentu dengan memperhatikan sisi kemaslahatan umat Islam. Kita bisa sebut nama ulama yang membolehkan, misalnya: Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, Syaikh Bin Baz, Syaikh Nashiruddin Al-Albani, Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad, Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, Syaikh Jadul Haq ‘Ali Jadul Haq, dan masih banyak yang lainnya. Untuk lembaga, ada Majma’ Fiqh Islami, Lajnah Daimah Lil Ifta Saudi, dan lain-lain.

Di dalam negeri sendiri, MUI jelas membolehkan. Bahkan beberapa asatidz yang dikenal kuat pembelaannya terhadap Islam dan cukup ketat dalam beragama pun membolehkan ikut terlibat atau minimal ikut memilih dalam pemilu demokrasi. Kita sebut misalnya, sebagai contoh, Dr. Muinudinillah dan Dr. Zain An-Najah. Ust. Farid Okbah, meskipun terkenal sangat keras terhadap demokrasi, fatwa beliau dalam hal ini pun cukup fleksibel. Di kalangan Salafi, ada fatwa dari Dr. Firanda Andirja dan rekan-rekan beliau. Habib Rizieq Syihab juga jelas. Dan masih banyak yang lainnya.

Kalau sekadar banyak-banyakan nama, dan jelas-jelasan kredibilitas dan kapasitas keilmuan, tentu yang membolehkan akan “menang banyak”. Hanya saja, tentu fatwa mayoritas mereka tentang keterlibatan dalam pemilu demokrasi ini di bawah payung, maslahat dan mafsadat bagi Islam dan umat Islam. Bukan sekadar ikut meramaikan “pesta demokrasi” lima tahunan.

Jelas juga, tidak ada satupun dari nama-nama ulama di atas, yang membolehkan umat Islam meninggalkan/ mengabaikan/ membuang hukum Syariah, dan menggantinya dengan hukum buatan manusia. Jadi, membuat narasi seakan yang ikut atau berfatwa bolehnya terlibat dalam pemilu demokrasi, sebagai orang-orang yang menggadaikan aqidahnya, atau menyembah demokrasi, atau menyimpang dari Syariah, itu benar-benar terlalu jauh, dan sangat tidak beradab dengan para ulama.

Juga, mereka pun tidak ada yang menyatakan bahwa perjuangan umat Islam hanya di TPS. Tidak ada yang memahami seperti itu. Tidak ada juga yang prakteknya seperti itu. Semua memahami, bahwa upaya mewujudkan kebangkitan Islam itu harus dilakukan dari berbagai sisi. Dan setiap sisi, harus ada umat Islam yang terlibat di dalamnya.

Catatan, saya pribadi tetap menghormati pilihan untuk tidak terlibat dalam pemilu demokrasi sama sekali, karena mengikuti pendapat sebagian kecil ulama kontemporer. Itu pilhan masing- masing, dan kita tak perlu bersikap terlalu keras dalam hal ini. Masing-masing pihak harus belajar memahami bahwa ini hanyalah persoalan ijtihadi, dan harus disikapi secara lunak.

Terakhir, fatwa-fatwa ulama di atas tentu pertimbangannya adalah kemaslahatan Islam dan umat Islam, dan itu sangat tergantung situasi dan kondisi yang ada. Fatwa-fatwa mereka tersebut jangan dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik tertentu, untuk menjaring massa pemiliih, sedangkan mereka sendiri pun ternyata tak benar-benar mampu membuktikan konsistensi mereka dalam mewujudkan kemaslahatan tersebut.

Jika partai-partai politik itu ingin agar umat Islam terlibat dalam pemilu demokrasi. Maka, umat Islam pun tentu berharap partai- partai politik tersebut membenahi dirinya, agar benar-benar layak menjadi perwakilan umat. Munculkanlah calon-calon yang punya sifat ‘adalah (silakan cek definisi ‘adalah dalam kitab-kitab fiqih dan mushthalah Hadits), sekaligus punya kecakapan sebagai negarawan. Jangan asal munculkan nama, hanya karena elektabilitas atau kekuatan dana. Isu yang diusung pun seharusnya jelas isu-isu keumatan. Jangan takut dituduh sektarian atau radikal. Anda memang perwakilan umat Islam, wajar isu-isu keumatan dan keislaman anda bawa dan perjuangkan.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply