Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu ulama yang menggaungkan bahwa pendidikan Islam harusnya tidak hanya fokus pada hafalan, tapi harus menekankan pada pemahaman adalah Allahu yarham Dr. Yusuf Al-Qaradhawi.
Dan ini memang benar. Karena itu, saat dulu Nadiem Makarim mengatakan hal yang semisal, saya tidak menolaknya, meskipun banyak aktivis Islam yang menolak pernyataan tersebut. Saya sendiri katakan, pemikiran Nadiem ini sekuler dan tentu hal ini akan mempengaruhi kebijakannya, tapi untuk pernyataannya tersebut, itu tidak salah.
Sebagai contoh, saya dulu di sekolah diajari dan disuruh menghafal “Kapan hari lahir Kartini?”, tapi tidak pernah diajak berpikir kritis mengapa Kartini yang dijadikan icon perempuan Indonesia, mengapa bukan tokoh perempuan lain.
Bahkan di era orde baru dulu, hafal jajaran nama menteri di kabinet pembangunan itu sebuah kebanggaan dan ciri anak pintar. Padahal kalau dipikir-pikir, apa kira-kira manfaat bagi dunia –apalagi akhirat– kita dengan hafalan nama menteri tersebut?
Demikian juga di bidang studi Islam. Hafal berbagai masail fiqih misalnya, bahkan hafal isi kitab-kitab fiqih besar, tidak akan membuat seseorang menjadi faqih (pakar fiqih) –apalagi kalau sekadar memiliki sanad kitab fiqih ini dan itu–. Yang membuat seseorang layak disebut faqih adalah ketika malakah fiqih telah mendarah daging dalam dirinya, ketika disebutkan satu masail fiqih yang hadir di kepalanya bukan hanya apa pendapat ulama tentang hal tersebut, tapi apa yang melandasi pendapat tersebut, apakah pendapat tersebut kuat hujjahnya, bagaimana ta’lil atas persoalan tersebut, bagaimana tathbiqnya dalam perkara nawazil, dan seterusnya.
Inilah yang diserukan oleh para ulama semisal Al-Qaradhawi dan lainnya.
Tentu hal semacam ini, tidak berarti menganulir proses “menghafal” sebagai salah satu langkah dalam belajar. Hal yang perlu dihafal, tetap perlu dihafal. Tapi akan berbeda, pendidikan yang menjadikan goal utamanya adalah banyaknya hafalan, dengan pendidikan yang menjadikan tujuan utamanya melahirkan para ahli yang memiliki kompetensi ilmiah yang memadai, dan mampu memberikan kontribusi bagi kemaslahatan dan kebangkitan peradaban umat Islam dengan kompetensinya tersebut.
Leave a Reply