Oleh: Muhammad Abduh Negara
Secara umum, ada tiga pendapat yang berkembang terkait penentuan hari raya ‘idul fitri (dan juga awal Ramadhan), antara ru’yatul hilal dan hisab astronomis, yaitu:
1. Ru’yah murni, tanpa memperhatikan hisab. Jadi meskipun menurut hisab, tidak mungkin wujud hilal malam itu, atau tidak imkanur ru’yah, selama ada orang yang dianggap tsiqah dalam kesaksian, mengaku melihat hilal, kesaksiannya diterima.
2. Ru’yah yang didukung hisab, dalam penafian. Ini yang dipakai Kemenag. Artinya, selama imkanur ru’yah (hilal mungkin dilihat), kesaksian melihat hilal diterima. Di sini ada perincian:
(a) Imkanur ru’yah menurut hisab + ada kesaksian melihat hilal: besoknya ‘id.
(b) Imkanur ru’yah menurut hisab + tidak ada kesaksian melihat hilal: besoknya belum ‘id.
(c) Tidak imkanur ru’yah menurut hisab + ada kesaksian: kesaksian ditolak, dan besoknya belum ‘id.
(d) Tidak imkanur ru’yah menurut hisab + tidak ada kesaksian: ini jelas sudah jawabannya.
3. Murni hisab, tanpa perlu ru’yah lagi. Ini pun bisa dibagi menjadi dua kelompok:
(a) Wujudul hilal (yang penting hilal sudah wujud di atas ufuk), ini yang dipakai Muhammadiyah.
(b) Imkanur ru’yah, dengan kriteria sekian derajat di atas ufuk, yang bisa beda-beda antar lembaga.
Bagaimana kalau hasil ru’yatul hilal bertentangan dengan hisab astronomis, bahkan dengan hisab metode wujudul hilal?
Ya, tidak apa-apa. Tergantung pendapat mana yang dipegang, seperti yang saya tulis di atas. Kalau pakai ru’yah murni, selama ada kesaksian yang diterima, maka itu cukup untuk menetapkan idul fitri, meskipun hasilnya ditolak oleh ahli hisab. Yang jadi patokan bagi mereka adalah kesaksian, dan hisab sejak awal memang tidak dianggap oleh mereka.
Tapi kalau pakai ru’yah + hisab (nafi), apalagi hisab murni, ya ru’yah semacam ini tertolak.
Dr. Muhammad Hasan Hitu, sebagai pendukung ru’yah + hisab (nafi), membahas panjang lebar tentang hasil ru’yah yang zhanni itu tidak bisa menentang penafian hisab yang sifatnya qath’i.
Apalagi kalau kita menerima bahwa perkara penentuan awal akhir Ramadhan ini tujuannya adalah mengetahui masuknya awal bulan baru, sedangkan ru’yah hanya wasilah saja, bahwa ia perkara ta’aqquli, bukan ta’abbudi, maka ru’yah yang dinafikan hisab semacam ini jelas tidak bisa diterima.
Tapi ya, selama ada ulama yang diikuti, setiap pendapat tetap perlu dihormati.
Leave a Reply