Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Pentingnya Sanad dan Ushul Fiqih

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dr. ‘Amir Bahjat, ulama muda bermadzhab Hanbali dari Saudi Arabia, pernah menyatakan dalam salah satu muhadharahnya: لولا أصول الفقه لقال من شاء ما شاء (seandainya tidak ada ushul fiqih, maka siapapun akan berkata apa saja yang diinginkannya). Beliau membuat ungkapan yang mirip dengan ungkapan Imam ‘Abdullah bin Al-Mubarak tentang sanad Hadits.

Itu menunjukkan keduanya sama-sama urgen. Ushul fiqih sangat penting dalam ketepatan kita memahami kandungan hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedangkan sanad urgen dalam mengecek shahih dhaifnya Hadits yang dinisbatkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam.

Seandainya tidak ada kajian terhadap sanad Hadits, maka setiap orang bisa berkata, “Nabi bersabda…”, atau “Nabi melakukan ini…” semaunya. Dengan kajian sanad Hadits, bisa diketahui mana penisbatan yang shahih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan mana yang mardud (tertolak).

Seandainya tidak ada ushul fiqih, maka setiap orang bisa berkata, “Hukumnya ini berdasarkan firman Allah…”, “Itu haram karena menyelisihi Hadits…”. Dengan ushul fiqih, bisa diketahui cara berdalil yang benar dan cara “berdalil” yang ngawur.

Orang yang tidak peduli pada kajian sanad Hadits, akan bermudah-mudahan menukil perkataan atau perbuatan dan menisbatkannya pada Nabi, tanpa berusaha mengecek shahih tidaknya penisbatan tersebut. Ketergelinciran ini bisa kita temukan di sebagian buku, yang banyak memuat Hadits-hadits palsu, serta pada sebagian penceramah dan khatib yang begitu entengnya mengutip Hadits-hadits palsu tersebut.

Orang yang tidak peduli pada ushul fiqih, atau bahkan menganggapnya sebagai syubhat, akan bermudah-mudahan mengatakan ini halal dan ini haram, ini Sunnah dan ini bid’ah, tanpa ilmu, tanpa metode yang benar dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketergelinciran ini terjadi pada sebagian penceramah yang bermudah-mudahan berfatwa, bermodalkan kutipan ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, tanpa memiliki ilmu tentang cara berdalil dengan kedua sumber ajaran Islam tersebut. Sayangnya, ketergelinciran ini kemudian diikuti oleh pendengarnya, yang merasa paling paham Sunnah, padahal hakikatnya “rajulun laa yadri annahu laa yadri”.

Karena itu, beragama itu harus dengan dalil, serta mengikuti ulama mu’tabar yang tahu dalil dan paham cara berdalil, bukan sekadar klaim paling paham agama, paling aswaja, paling punya sanad ilmu, paling paham Sunnah, paling syar’i dan berbagai klaim lainnya, padahal hakikatnya jahil murakkab.

Leave a Reply