Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Perbedaan Pendapat Ulama, Rahmat dan Kemudahan Bagi Umat

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Jika kita menelusuri kitab-kitab fiqih karya para ulama, ternyata kita temukan dalam seluruh bab-bab fiqih, terdapat perbedaan pendapat ulama. Dalam persoalan thaharah, apakah wudhu memerlukan niat atau tidak, ulama berbeda pendapat. Hal-hal yang membatalkan wudhu, ulama berbeda pendapat. Dalam shalat, hukum tasyahhud awwal, ulama berbeda pendapat. Hukum qunut pada shalat Shubuh, ulama berbeda pendapat. Dalam persoalan muamalah demikian juga, baik pada persoalan-persoalan klasik, lebih-lebih lagi, pada persoalan kontemporer.

Sebagian orang, karena tak memahami persoalan ini secara baik, menganggap perbedaan pendapat para ulama ini semuanya tercela. Karena perbedaan tercela, maka semua harus disatukan pada satu pandangan saja. Sayangnya, upaya mereka menyatukan itu, malah menambah daftar perbedaan dan perdebatan yang ada.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata:

مَا سَرَّنِي لَوْ  أَنَّ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَخْتَلِفُوا، لأَنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَخْتَلِفُوا لَمْ تَكُنْ رُخْصَةٌ

Artinya: “Tidak membuatku senang, seandainya para Shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak saling berbeda pendapat. Karena jika mereka tak berbeda pendapat, tidak akan ada rukhshah (keringanan).”

Atsar ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ini disebutkan oleh Al-‘Ajluni dalam “Kasyf Al-Khafa” (Juz 1, hlm. 75, Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah).

Qatadah, salah seorang ulama Tabi’in, berkata:

مَنْ لَمْ يَعْرِفِ الِاخْتِلَافَ لَمْ يَشُمَّ أَنْفُهُ الْفِقْهَ

Artinya: “Siapa yang tidak mengenal perbedaan pendapat (di kalangan ulama), berarti hidungnya belum mencium aroma Fiqih.”

Atsar di atas disebutkan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam “Al-Faqih Wal Mutafaqqih” (Juz 2, hlm. 40, Dar Ibn Al-Jauzi).

Dua atsar di atas sebenarnya sudah memberikan kita gambaran yang benar tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama. Bahwa ia tidaklah tercela, bahkan itu adalah sesuatu yang membersamai fiqih itu sendiri. Berbicara fiqih, berbicara ketentuan Syariat tentang amal-amal yang kita lakukan, berarti kita juga akan menemui perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dan ini realita yang tak perlu dimusuhi.

Bahkan, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz malah lebih senang adanya khilaf, karena itu akan melahirkan rukhshah (keringanan) bagi kita. Seandainya fiqih satu warna saja, tentu akan menimbulkan kesulitan bagi kita, pada tempat atau keadaan tertentu.

Sebagai contoh, seandainya transaksi jual beli mengharuskan pengucapan lafazh ijab qabul, seperti pendapat madzhab Asy-Syafi’i, dan tidak ada pendapat lain, tentu di era serba cepat seperti sekarang ini, kita akan kesulitan mengamalkannya.

Contoh lain, Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, salah seorang ulama bermadzhab Syafi’i, memfatwakan bolehnya bertaqlid pada Imam Malik dalam persoalan air sedikit yang terkena najis, pada orang yang memiliki beberapa anak kecil, yang terbiasa memasukkan tangannya ke wadah air yang berukuran kecil, dan diduga kuat tangannya tersebut bernajis. Seandainya mengikuti pendapat madzhab Asy-Syafi’i, otomatis air di wadah tersebut menjadi najis, dan itu sangat menyulitkan bagi orangtua dari anak-anak tersebut, karena bisa jadi anak-anak tersebut bermain-main dengan air tersebut, berulang kali dalam sehari. Sehingga mengikuti pendapat Imam Malik yang menyatakan air tersebut tidak menjadi najis, kecuali berubah salah satu sifatnya, lebih memudahkan.

Jadi, perbedaan pendapat dalam persoalan ijtihadiyyah di kalangan ulama, tidak tercela, bahkan ia merupakan kemudahan dalam Islam. Selama kita menyikapinya dengan tepat, ia adalah rahmat bagi umat ini.

Leave a Reply