Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu hal yang diharamkan bagi perempuan haid adalah bermesraan dengan suaminya, pada bagian tubuh di antara pusar dan lututnya. Dalam “Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah” disebutkan:
والاستمتاع بما بين السرة والركبة
Artinya: “(Di antara yang diharamkan bagi perempuan haid) bermesraan pada anggota tubuh di antara pusar dan lutut.”
Bermesraan yang diharamkan, yang dimaksud di sini, menurut penulis “Busyra Al-Karim”, adalah bersenggama secara mutlak dan hal-hal lainnya (selain bersenggama) tanpa pembatas kain dan semisalnya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
Artinya: “Tinggalkanlah para perempuan (jangan menyetubuhi mereka) saat mereka haid.” (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لك ما فوق الإزار
Artinya: “Boleh bagimu selain yang ditutup oleh kain sarung (antara pusar dan lutut).” (HR. Abu Dawud)
Redaksi Hadits di atas, berisi kiasan (kinayah) tentang halalnya bermesraan pada anggota tubuh antara pusar dan lutut, selain bersenggama, jika ada penghalang berupa kain dan semisalnya, dan bolehnya bermesraan pada selain anggota tubuh tersebut secara mutlak.
Ada juga pendapat yang menyatakan, yang diharamkan hanya bersenggama saja, berdasarkan Hadits Nabi:
اصنعوا كل شيء إلا النكاح
Artinya: “Lakukan apa saja, kecuali hubungan badan.” (HR. Muslim)
Namun Hadits ini maknanya bertentangan dengan Hadits pertama di atas, dan Hadits pertama diunggulkan karena ia mengandung hukum yang lebih hati-hati (ihtiyath).
Ada perbedaan redaksi yang digunakan oleh An-Nawawi, antara di “Ar-Raudhah” dengan di “At-Tahqiq” dan lainnya. Di “Ar-Raudhah”, beliau menggunakan redaksi istimta’, dan ini juga yang biasanya digunakan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab-kitabnya. Dan makna istimta’, mencakup bermesraan dan bercumbu dengan pandangan dan sentuhan tanpa penghalang, namun ia khusus untuk yang disertai syahwat.
Sedangkan dalam “At-Tahqiq” dan lainnya, beliau menggunakan redaksi mubasyarah, yang menunjukkan ia khusus untuk sentuhan tanpa penghalang, baik dengan syahwat ataupun tidak, dan tidak menunjukkan makna pandangan meskipun dengan syahwat.
Menurut Al-Kurdi, redaksi yang pertama, yaitu istimta’, itu lebih utama.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Busyra Al-Karim Bi Syarh Masail At-Ta’lim, karya Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’isyn Ad-Dau’ani, Halaman 129, Penerbit Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, Jakarta, Indonesia.
Leave a Reply