Oleh: Muhammad Abduh Negara
Perintah (amr) dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, jika tidak ada dalil atau faktor luar (qarinah) yang mengalihkan hukumnya, maka ia berkonsekuensi wajib dilakukan. Lalu, apakah perintah tersebut, harus dikerjakan berulang kali dan sesegera mungkin? Ulama berbeda pendapat, dan yang dirajihkan oleh banyak ulama Syafi’iyyah adalah, perintah tidak menuntut ia harus dikerjakan berulang dan sesegera mungkin.
Perintah tidak menuntut dikerjakan berulang kali, karena yang diinginkan dari perintah itu adalah ia dikerjakan, dan itu sudah terwujud meski hanya dilakukan sekali saja. Dan tidak ada keharusan bagi seseorang melakukannya berulang kali, kecuali ada dalil lain yang mewajibkan atau menganjurkan hal tersebut.
Karena itu, anjuran mengikuti bacaan muadzdzin hanya berlaku untuk muadzdzin pertama saja. Jadi, kalau kita sudah mengikuti bacaan adzan dari muadzdzin pertama, kemudian kita mendengar ada adzan yang lain, kita tidak dianjurkan untuk mengikuti bacaannya.
Namun jika ada syarat atau sifat pada perintah itu, yang menunjukkan keharusan perintah itu dikerjakan berulang kali, maka ia harus dikerjakan berulang kali. Contohnya, kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan wajib dilakukan setiap tahun, karena kewajibannya dikaitkan dengan melihat hilal dan datangnya bulan Ramadhan, dan itu berulang setiap tahun.
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya: “Maka siapa saja yang menyaksikan masuknya bulan Ramadhan, wajib baginya berpuasa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
Artinya: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal awal Ramadhan) dan berbukalah (tidak berpuasa lagi) karena melihatnya (hilal awal Syawwal).” (HR. Muslim)
Perintah juga tidak harus dikerjakan sesegera mungkin, karena tujuan perintah itu adalah diwujudkannya yang diperintahkan, tanpa ada penetapan ia harus dikerjakan di awal atau boleh nanti. Karena itu, perintah shalat lima waktu tidak wajib dikerjakan di awal waktu, namun ia boleh dilakukan di awal, di tengah atau di akhir waktu tersebut, selama belum keluar dari waktunya. Yang penting, saat waktu shalat masuk, ia mengazamkan dalam hatinya, bahwa ia akan mengerjakannya sebelum keluar waktunya. Tentu, shalat di awal waktu paling utama.
Demikian juga haji, kalau misalnya tahun ini kita sudah punya bekal yang cukup untuk melaksanakan haji, tidak wajib kita mengerjakannya tahun ini, tapi boleh ditunda ke tahun depan atau beberapa tahun lagi, dengan syarat-syarat tertentu.
Perintah menjadi wajib dilakukan sesegera mungkin, jika ada faktor luar yang meniscayakannya. Misalnya, orang yang meninggalkan shalat wajib tanpa uzur, maka ia wajib mengqadhanya sesegera mungkin, karena qadha yang disebabkan maksiat wajib ditunaikan sesegera mungkin.
Wallahu a’lam.
Rujukan: Al-Madkhal Ila Ushul Al-Fiqh, karya Dr. ‘Abdurrahman As-Saqqaf, Halaman 63-65, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Leave a Reply