Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Ushul Fiqih

Perintah Terhadap Satu Perkara, Juga Perintah Atas Sesuatu, Yang Terwujudnya Perkara Yang Diperintahkan, Tergantung Pada Sesuatu Tersebut

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Ulama berbeda pendapat, apakah perintah terhadap satu perkara, juga merupakan perintah atas sesuatu, yang terwujudnya perkara yang diperintahkan, tergantung pada sesuatu tersebut.

Al-Isnawi menyatakan:

الأمر بالشيء، هل يكون أمرا بما لا يتم ذلك الشيء إلا به، وهو المسمى بالمقدمة، أم لا يكون أمرا به؟ فيه مذاهب.

Artinya: “Perintah terhadap satu perkara, apakah ia juga merupakan perintah terhadap sesuatu, yang terwujudnya perkara yang diperintahkan, tergantung pada sesuatu tersebut, dan sesuatu itu disebut ‘muqaddimah’, atau ia tidak berisi perintah terhadap sesuatu tersebut? Dalam hal ini, ada beberapa pendapat ulama.”

Pendapat yang paling shahih menurut Fakhruddin Ar-Razi dan pengikutnya, juga menurut Al-Amidi, bahwa perintah itu juga merupakan perintah terhadap sesuatu tersebut, secara mutlak, baik ia sebab maupun syarat. Baik sebab itu syar’i,’aqli maupun ‘adi. Demikian juga, baik syarat itu syar’i,’aqli maupun ‘adi.

Yang dimaksud dengan sebab (السبب) adalah sesuatu yang adanya ia, meniscayakan adanya yang lain, dan tidak adanya ia, meniscayakan tidak ada yang lain.

Contoh sebab syar’i, adalah adanya shighah (ucapan) untuk pembebasan budak yang wajib. Contoh sebab ‘aqli, aktivitas nazhar (pengamatan dan proses berpikir secara ilmiah) untuk mendapatkan ilmu yang wajib. Contoh sebab ‘adi, memotong leher dalam pembunuhan yang hukumnya wajib.

Sedangkan syarat (الشرط) adalah sesuatu yang jika ia tidak ada, maka tidak ada juga yang lain, namun adanya ia, tidak meniscayakan ada atau tidak adanya yang lain.

Contoh syarat syar’i, adalah wudhu untuk shalat. Contoh syarat ‘aqli, meninggalkan hal-hal yang merupakan kebalikan dari yang diperintahkan. Contoh syarat ‘adi, membasuh sebagian kepala yang dekat dengan wajah untuk memastikan seluruh wajah terbasuh dalam wudhu.

Ada beberapa contoh kasus yang lahir dari kaidah ushul fiqih di atas:

1. Jika di satu tempat ada beberapa jenazah, yang diketahui sebagiannya adalah jenazah muslim, dan sebagian lagi jenazah orang kafir, namun kita tidak bisa mengetahui, mana yang muslim dan mana yang kafir. Pada kondisi ini, untuk memastikan jenazah muslim diselenggarakan fardhu kifayahnya, maka kita wajib memandikan, mengafani dan menyalati semua jenazah tersebut.

2. Jika seseorang bernadzar puasa setengah hari, menurut pendapat yang shahih tidak ada kewajiban apapun baginya, karena nadzarnya tersebut tidak teranggap menurut syariat.

Ada juga yang menyatakan, wajib baginya melakukan puasa satu hari penuh, karena nadzar puasa setengah hari mungkin dilakukan dengan puasa pada seluruh hari tersebut. Karena dia mewajibkan dirinya melaksanakan puasa setengah hari, maka konsekuensinya, dia wajib puasa satu hari penuh, karena puasa hanya dianggap sah jika dilaksanakan satu hari penuh, dan ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih di atas. Dan ini adalah pendapat yang cenderung dipilih (muttajah) oleh Al-Isnawi.

Al-Isnawi menyatakan, seandainya kita terima, mafhum laqab (salah satu jenis mafhum mukhalafah) sebagai hujjah, dan dia mengatakan, “Saya bernadzar puasa setengah hari”, maka mafhumnya dia tidak berpuasa pada sisa harinya, dan nadzar seperti ini jelas tidak sah. Namun yang masyhur di kalangan ulama, mafhum laqab tidak dianggap sebagai hujjah. Artinya, argumentasi dengan mafhum laqab seperti ini, tidak sah.

3. Jika seseorang meninggalkan salah satu shalat fardhu lima waktu karena lupa, dan dia tidak ingat shalat apa yang dia tinggalkan, wajib baginya melaksanakan seluruh shalat fardhu yang lima waktu tersebut, untuk memastikan dia telah mengqadha shalat yang tertinggal.

Dan banyak lagi contoh yang disebutkan oleh Al-Isnawi.

Wallahu a’lam.

Rujukan: At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu’ ‘Ala Al-Ushul, karya Imam Jamaluddin Al-Isnawi, Halaman 69-73, Penerbit Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Libanon.

Leave a Reply