Oleh: Muhammad Abduh Negara
Mari kita bedakan antara:
1. Menyampaikan fiqih pernikahan sesuai penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka, dan disampaikan oleh orang yang mengerti fiqih pernikahan.
2. Menyampaikan bagaimana pengelolaan rumah tangga sesuai syariat. Ini sebenarnya masih dalam cakupan fiqih pernikahan di atas. Bisa saja diberi judul “Membangun Rumah Tangga Ala Nabi”, atau semisalnya.
Catatannya, materinya benar-benar harus selaras dengan penjelasan para ulama yang pakar di bidangnya, dan tidak menyusun materi asal-asalan kemudian menisbatkannya pada Islam atau pada Nabi.
Pematerinya pun, harus yang paham fiqih pernikahan, dan secara khusus paham materi yang akan disampaikan, dan bisa menyampaikannya secara proporsional.
3. Menyampaikan tips sukses rumah tangga, atau semisalnya, dengan menjadikan si pemateri sebagai role model dari rumah tangga yang sukses tersebut, dengan narasi seakan si pemateri dan pasangannya adalah gambaran ideal rumah tangga Islami.
Bagian ini yang menjadi isykal. Yang sudah berumah tangga puluhan tahun pun, dan relatif baik-baik saja, belum tentu ideal sebagai role model, apalagi bagi yang pernikahannya baru seumur jagung.
Seminar pernikahan dan semisalnya, dengan bentuk seperti ini, selayaknya tidak perlu ada. Kalau mau ambil teladan, belajarlah kehidupan rumah tangga Nabi, dari pemateri yang paham fiqih, Hadits dan sirah, agar pemateri bisa menjelaskan secara tepat dan proporsional.
Tidak perlu memberi kesempatan pada influencer, entah dengan tujuan mencari cuan atau kemasyhuran, untuk menampilkan topeng dirinya, dengan gambaran ideal dan sempurna. Sudah terlalu banyak contoh, si pemakai topeng yang dipuja puji ketika masih memakai topeng, kemudian dicaci maki oleh orang yang sama, ketika topengnya sudah terbuka.
Leave a Reply