Oleh: Muhammad Abduh Negara
Dari sisi kualitas keislaman, Pak Jokowi dan Pak Prabowo boleh dikatakan sama saja. Terjatuhnya mereka pada kesalahan fatal dalam aqidah juga disorot oleh media. Pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an jangan ditanya, toh kemampuan baca Al- Qur’an saja masih dipertanyakan.
Semangat menerapkan hukum Al-Qur’an masih terlalu jauh. Jangankan menerapkan, membacanya saja masih dipersoalkan. Pembelaan terhadap Islam dan kepentingan umat Islam, sepertinya juga 11-12. Apa ada yang bisa membuktikan salah satu calon punya keunggulan dalam hal ini?
Sayang sekali memang. Padahal negeri ini mayoritas muslim. Islam dan hukum Islam telah lama hidup di negeri ini. Para ahli agama dan penghafal Al-Qur’an sangat banyak. Sebagiannya punya kemampuan menjadi pemimpin dan negarawan. Tapi yang terpilih ternyata dua orang yang kualitasnya jauh di bawah.
Ke depannya hal ini tak boleh lagi terjadi. Umat Islam Indonesia berhak punya pemimpin seorang negarawan, yang kualitas keislamannya tinggi, dan semangatnya memperjuangkan Islam telah teruji. Kita punya stok orang-orang seperti ini, tinggal kita mau melangkah lebih jauh, atau kembali mundur, terus “memilih yang agak ringan keburukannya, dari dua orang yang sama-sama buruk”.
Kembali ke dua calon yang ada. Meski sama-sama buruk untuk umat Islam Indonesia, tapi Pak Prabowo punya “sedikit kelebihan”:
1. Didukung oleh partai dan tokoh umat yang punya semangat keislaman yang baik. Berbanding terbalik dengan pihak satunya.
2. Belum punya pengalaman sebagai presiden, sehingga kelemahan dan ingkar janjinya belum terlihat.
3. Untuk kualitas secara umum, tanpa melihat sisi kualitas keislaman, Pak Prabowo memang lebih dibandingkan yang satunya. Tapi poin ke-3 ini adalah kelebihan, sekaligus juga kekurangan. Orang seperti Pak Prabowo agak sulit disetir dan diatur, bahkan oleh para tokoh umat sekalipun. Ini bahkan sudah terlihat sebelum ini.
Karena itu, umat Islam Indonesia, yang memilih mengikuti fatwa ulama yang membolehkan ikut memilih dalam pemilu demokrasi, saat ini harus kembali memilih yang mafsadahnya lebih kecil, bukan memilih yang benar-benar berkualitas baik. Inilah kondisi riil saat ini.
Namun, sebagaimana sering saya ulang-ulang, tidak layak bagi kita memuji yang tak layak dipuji, atau menyematkan sifat yang tak layak bagi orang tersebut. Jika memang buruk, kita akui buruk. Kita memilihnya bukan karena ia baik, tapi karena pilihannya memang cuma itu. Dan memberi kesaksian palsu, mengatakan buruk pada yang baik, atau sebaliknya, memuji yang tak layak dipuji, hanya karena
politik elektoral, harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala kelak.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply