Oleh: Muhammad Abduh Negara
‘Umar radhiyallahu ‘anhu mau menuju Syam, tapi di tengah perjalanan beliau mendapat informasi bahwa sedang terjadi wabah di sana, akhirnya beliau membatalkan perjalanannya ke Syam. Seorang shahabat bertanya, “Apakah kita lari dari takdir Allah?”, ‘Umar kemudian menjawab:
نَفِرُّ مِن قَدَرِ اللَّهِ إلى قَدَرِ اللَّهِ
Artinya: “Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah.”
Ahlus Sunnah meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk adalah takdir dari Allah ta’ala.
Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menyatakan:
خلق الخلق بعلمه، وقدر لهم أقدارا، وضرب لهم آجالا. لم يخفَ عليه شيء قبل أن يخلقهم، وعلم ما هم عاملون قبل أن يخلقهم، وأمرهم بطاعته، ونهاهم عن معصيته. وكل شيء يجري بتقديره ومشيئته، ومشيئته تنفذ لا مشيئة للعباد إلا ما شاء لهم، فما شاء لهم كان، وما لم يشأ لم يكن.
Artinya: “Dia (Allah) menciptakan semua makhluk dengan ilmu-Nya, menetapkan takdir-takdir mereka, dan menentukan ajal-ajal mereka. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya sebelum Dia menciptakan mereka, dan Dia mengetahui apa yang akan mereka lakukan sebelum menciptakan mereka. Dia memerintahkan mereka untuk menaati-Nya dan melarang mereka melakukan maksiat pada-Nya. Segala sesuatu berjalan sesuai takdir dan kehendak-Nya, dan kehendak-Nya (masyiah-Nya) pasti terjadi, tidak terjadi kehendak hamba kecuali yang Dia kehendaki untuk mereka. Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.”
Artinya, segala hal yang terjadi pada kita, baik ataupun buruk, kita inginkan ataupun tidak, mengenai kita atau orang lain, semuanya adalah qadarullah, takdir dari Allah ta’ala. Namun takdir Allah ta’ala itu adalah rahasia Allah ta’ala yang baru kita ketahui setelah terjadi, dan ia tidak menafikan amal. Karena itu Ath-Thahawi di atas menyatakan: وأمرهم بطاعته، ونهاهم عن معصيته (Dia memerintahkan mereka untuk menaati-Nya dan melarang mereka melakukan maksiat pada-Nya), dan itu menunjukkan ketaatan bermanfaat untuk hamba, dan kemaksiatan melahirkan dharar bagi mereka.
Karena takdir adalah rahasia Allah ta’ala, seseorang tidak boleh berdalil dengan takdir untuk meninggalkan amal, bersikap pasrah terhadap keburukan dan bersikap fatalistik. Ini bukan ajaran Ahlus Sunnah, tapi ajaran sesat kalangan jabriyyah. Ini juga yang melandasi perkataan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: “Kita lari dari takdir Allah menuju takdir Allah.”, karena tindakan kita menjauhi bahaya tetap berada dalam lingkup takdir Allah ta’ala.
Keimanan terhadap takdir melahirkan sikap positif, yaitu ridha terhadap takdir ketika itu telah terjadi. Ketika seseorang mengalami musibah, misalnya kematian orangtuanya, dia terima hal tersebut, tidak memaki Allah, dan tidak melakukan tindakan yang tidak diridhai-Nya. Inilah buah keimanan terhadap takdir.
Namun bukan berarti keimanan terhadap takdir menghapus semua kejahatan dan kelalaian yang dilakukan oleh seseorang. Misal, dalam kasus pembunuhan, keluarga pihak terbunuh yang beriman terhadap takdir, dia akan menerima hal tersebut sebagai ketetapan Allah untuk mereka, dan sikap mereka tersebut mendatangkan pahala untuk mereka. Namun bukan berarti mereka tidak boleh menuntut si pembunuh. Mereka tetap punya hak meminta qishash.
Sedangkan bagi si pembunuh, dia tidak boleh berlindung di balik ungkapan “qadarullah” demi cuci tangan dari kejahatannya. Kejahatannya yang menumpahkan darah seorang muslim tanpa hak, tetap harus dipertanggungjawabkan.
Muhammad shalih Al-Munajjid berkata:
الاحتجاج الصحيح بالقدر هو الاحتجاج عند المصائب لا عند المعائب، فقد يتعلل بعض المذنبين المقصرين، إذا ليموا لماذا لم تفعل هذا الواجب؟ ولماذا تغشى هذا المحرم؟ قال: قدر الله عليّ، فيحتجون بالقدر على المعصية، وهذا باطل، فلا شك أن الإيمان بالقدر لا يمنح العاصي حجة على ترك واجب أو فعل محرم.
Artinya: “Berhujjah yang benar dengan takdir adalah berhujjah ketika mengalami musinah, bukan saat melakukan keburukan. Sebagian orang yang melakukan perbuatan dosa dan kelalaian saat diingatkan, ‘Mengapa kamu tidak melakukan kewajiban ini?’, ‘Mengapa kamu melakukan keharaman ini?’, dia berkata: ‘Ini qadarullah untuk saya’. Mereka berhujjah dengan takdir untuk menjustifikasi kemaksiatan mereka, dan ini batil. Jelas sekali, keimanan terhadap takdir tidak mengizinkan seorang pelaku maksiat menjadikannya hujjah untuk meninggalkan satu kewajiban atau melakukan keharaman.”
Termasuk dalam hal ini, kasus malapraktik yang dilakukan oleh praktisi kesehatan modern maupun pengobatan tradisional, ia tidak boleh dianggap selesai hanya dengan ungkapan “qadarullah” saja. Ini cara berpikir kalangan sesat jabriyyah.
Jika seorang praktisi pengobatan tradisional melakukan satu tindakan yang menyebabkan kematian pasiennya, dia harus siap mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut, apakah sudah sesuai ilmu kesehatan dan pengobatan yang diakui oleh para ahli, apakah tindakannya sudah memenuhi standar operasional prosedur yang tepat, apakah dia memang punya kelayakan melakukan tindakan medis tersebut, dan seterusnya. Jika terbukti dia melakukan malapraktik, maka dia harus siap mempertanggungjawabkan tindakan buruk dan bodohnya tersebut, baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahu a’lam.
Leave a Reply