Oleh: Muhammad Abduh Negara
1. Salah, secara nisbi. Hal ini misalnya berlaku pada perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang masing-masing pendapat punya dasar pendalilan yang cukup kuat.
Contoh, pendapat Ahmad bin Hanbal tentang tidak disyariatkannya qunut itu, adalah pendapat yang salah menurut pandangan Asy-Syafi’i. Namun menurut pandangan Imam Ahmad dan yang setuju dengan pendapat beliau, pendapat itu adalah pendapat yang benar.
2. Salah, yang diketahui kesalahannya, namun masih bisa dimaklumi. Misalnya, pada pendapat ulama hasil ijtihad mereka, yang ternyata menyelisihi nash, ijma’, dan semisalnya.
Contoh, pendapat ulama yang menyatakan akad wakaf itu bisa dibatalkan (tidak luzum), yang menyelisihi nash, atau pendapat ulama yang menyatakan tidak ada zakat barang perdagangan yang menyelisihi ijma’.
Pendapat ini salah, dan tidak bersifat nisbi. Namun yang mengemukakannya tidak dicela, karena hal itu hasil ijtihad dari orang yang layak berijtihad, dan telah memenuhi langkah-langkah dalam berijtihad. Hanya saja, pendapat itu menabrak nash atau ijma’, karena ketidaktahuannya.
3. Salah secara mutlak, dan yang melakukannya tidak diberi uzur. Misalnya:
– Kesalahan fatwa dari orang yang tidak layak berfatwa
– Pendapat yang tidak lahir dari upaya berijtihad yang benar, tapi dari hawa nafsu, menyenangkan penguasa, mengunggulkan firqahnya yang menyimpang, dan semisalnya.
Leave a Reply