Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Salahkah Penggunaan Kata “Takjil” untuk Makanan Berbuka Puasa?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Salah satu hal yang disunnahkan saat puasa Ramadhan adalah menyegerakan berbuka, jika sudah jelas masuk waktu berbuka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

Artinya: “Orang-orang senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu)

Menyegerakan berbuka puasa dalam bahasa Arab disebut “ta’jilul fithr” (تعجيل الفطر). Dari ungkapan inilah kemudian populer istilah “takjil”, yang di negeri kita berkembang (atau: berubah?) maknanya menjadi: makanan untuk berbuka puasa. Dan makna ini sudah masuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Silakan cek KBBI daring di sini: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Takjil

Pertanyaan, apakah perubahan makna takjil ini sesuatu yang salah? Jawabannya tidak salah dan tidak masalah. Sudah biasa, satu bahasa menyerap kosakata dari bahasa lain kemudian maknanya sedikit berubah. Selama penggunaan kosakata ini sesuai makna yang dikehendaki bahasa tersebut.

Beda halnya dengan penggunaan kata “silaturahmi” misalnya, yang di KBBI diartikan “tali persahabatan” (Cek: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/silaturahmi). Perubahan makna ini tidak masalah sebenarnya. Namun sayangnya orang-orang yang menggunakan kata ini sesuai makna KBBI atau sesuai ‘urf Indonesia, menggunakan dalil-dalil صلة الرحم yang punya makna khas dalam Syariat, yang berbeda dengan makna yang biasa mereka gunakan.

Kesalahan mereka pada penggunaan kata “silaturahmi” adalah pada penempatan dalil-dalil Syariat tidak pada tempatnya. Adapun pada penggunaan kata “takjil”, masalah itu tak terjadi. Jadi sah-sah saja menggunakan kata “takjil” untuk “makanan untuk berbuka puasa”.

Wallahu a’lam bish shawab.

Leave a Reply