Oleh: Muhammad Abduh Negara
Sanad ilmu, biasanya orang menggunakan istilah ini untuk seorang murid yang mengambil ilmu dari gurunya, kemudian guru dari gurunya lagi, sampai ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan orang yang memiliki sanad ilmu ini, pemahamannya terhadap Islam dianggap lebih shahih dan valid, aman dari penyimpangan, bahkan ada yang menganggap orang yang memiliki sanad ilmu ini tidak mungkin salah.
Ada istilah lain sebenarnya, yang mirip-mirip, tapi dengan pemaknaan yang sedikit berbeda, yaitu madrasah keilmuan. Setiap orang yang pernah belajar tarikh tasyri’ atau tarikh fiqih, tentu paham makna madrasah keilmuan ini dan tumbuh kembangnya.
Para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in dulu, semua mengambil ilmu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun karakter keilmuan mereka tidak sepenuhnya sama, cukup beragam. Ada Abu Bakr yang sangat hati-hati sehingga berupaya tidak ada sedikit pun yang berubah di masa beliau dari masa Nabi. Ada ‘Umar yang berani “menyelisihi” zhahir nash dari Nabi, mempertimbangkan sisi maqashid dari nash tersebut.
Ada madrasah ‘Abdullah bin ‘Umar dan Zaid bin Tsabit di Madinah. Ada madrasah ‘Abdullah bin ‘Abbas di Makkah, yang sangat kuat dalam tafsir. Ada madrasah ‘Ali dan Ibnu Mas’ud di Kufah yang kuat dalam ra’yu, dan lain-lain. Dari mereka inilah, kemudian ilmu diturunkan ke generasi-generasi berikutnya.
Dan berbicara madrasah keilmuan ini, kita bicara karakteristik dan kekhasan pemikiran, serta pengaruhnya terhadap seorang tokoh yang mengikuti madrasah tersebut. Imam Malik yang lahir di madrasah Madinah dan belajar dengan tabi’in dan atba’ tabi’in Madinah, memiliki karakter khas ulama Hijaz, misalnya. Sebaliknya, Abu Hanifah yang tinggal di Kufah sangat terpengaruh fiqih ulama Irak, dari atba’ tabi’in, tabi’in sampai ke Ibnu Mas’ud.
Namun, madrasah keilmuan ini tidak meniscayakan ketepatan, ke-shawab-an dan ke-rajih-an suatu pendapat, atau kepastian bahwa yang dipahami itulah yang pasti benar. Asy-Syafi’i berbeda pendapat dalam banyak masalah dengan pengikut dan penyebar madzhab Malik, padahal mereka semua sama-sama belajar dengan Imam Malik.
Ulama ahli ra’yi dan ulama ahli Hadits tajam sekali perbedaan pendapatnya, padahal semua ilmu mereka bermuara ke para shahabat, yang belajar dari Rasulullah, lalu dari semua perbedaan tersebut, mana yang ilmunya nyambung dengan Nabi dan mana yang tidak?
Pemahaman dan fiqih itu tidak bisa diriwayatkan, dalam arti, guru yang faqih belum tentu semua muridnya juga akan menjadi faqih. Atau, guru yang punya pakem, madzhab dan pendapat tertentu, belum tentu semua muridnya mengikuti pakem, madzhab dan pendapat tersebut.
Pemahaman itu hasil olah pemikiran, kajian dan penelaahan, dari tiap ulama, yang hasilnya sangat mungkin berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya, meskipun mereka lahir dari satu madrasah keilmuan. Madrasah keilmuan itu memberi pengaruh dalam cara berpikir, namun hasil akhir (pendapat/pemahaman) itu sangat unik, dan tiap orang sangat mungkin berbeda.
Karena itu, saya pribadi tidak menggunakan istilah “sanad ilmu” untuk menyebutkan hal di atas, namun menggunakan istilah “madrasah keilmuan”, karena tampaknya itu istilah yang lebih tepat. Sedangkan istilah “sanad” sendiri, saya kembalikan sesuai penggunaan awalnya di generasi salaf, yaitu untuk validitas riwayat. Ungkapan لو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء, itu berkaitan dengan validitas riwayat, artinya jika tidak ada kajian terhadap sanad, maka seorang shahafi bisa saja menisbatkan ucapan Ibnu Sirin yang dinukil oleh Imam Muslim pada Rasulullah, dan semua fansnya akan menerima begitu saja. Namun karena ada kajian sanad, kita bisa cek validitas riwayatnya.
Leave a Reply