Oleh: Muhammad Abduh Negara
Salah satu rukun wudhu menurut madzhab Syafi’i adalah tartib (الترتيب), yaitu melakukan aktivitas wudhu secara berurutan sesuai yang disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah Ayat 6. Dan hal yang menunjukkan wajibnya tartib tersebut adalah disebutkannya sesuatu yang diusap di tengah-tengah antara dua hal yang dibasuh, yaitu disebutkannya mengusap kepala di antara membasuh dua tangan dan dua kaki, yaitu dalam firman-Nya:
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya: “Dan basuhlah wajah kalian dan kedua tangan kalian sampai siku, dan usaplah kepala kalian, dan basuhlah kaki kalian sampai mata kaki.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 6)
Dalam bahasa Arab, hal-hal yang sejenis harus disebutkan lebih dulu semuanya, baru dilanjutkan hal yang berbeda, jika tujuannya sekadar untuk menyebutkan saja. Namun jika hal yang berbeda ini disebutkan di tengah-tengah dua perkara sejenis, berarti ada faidah tambahan yang ingin ditunjukkan, yaitu urutan. Misalnya dikatakan: جاء زيد وعمرو وعائشة, ini tidak menunjukkan urutan, karena laki-laki disebutkan semuanya baru dilanjutkan dengan perempuan. Namun jika dikatakan: جاء زيد وعائشة وعمرو, ini menunjukkan urutan, artinya ‘Aisyah datang setelah Zaid dan sebelum ‘Amr.
Selain itu, banyak sekali riwayat yang menjelaskan tentang sifat wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari banyak shahabat ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, dan tidak ada satu pun yang menunjukkan Nabi pernah berwudhu secara tidak berurutan. Seandainya tartib ini bukan hal yang wajib, tentu ada -meskipun hanya satu- riwayat Nabi pernah melakukannya tanpa berurutan untuk menunjukkan kebolehannya.
Namun menurut Syafi’iyyah, ada satu keadaan di mana wudhu tetap sah padahal aktivitas yang tampak tidak menunjukkan wudhunya dilakukan secara berurutan. Keadaan tersebut adalah saat seseorang berendam di dalam air meskipun sebentar saja, dan dalam keadaan berendam itu dia niat berwudhu, saat itu wudhunya sah meskipun tidak terlihat tartib padanya.
Menurut An-Nawawi, berendamnya ini cukup sebentar saja (لحظة), karena sebenarnya tartib telah terwujud dalam waktu sebentar tersebut, meskipun dari luar tidak tampak. Sedangkan menurut Ar-Rafi’i, orang ini -setelah niat wudhu- harus berendam dalam waktu tertentu yang diperkirakan mencukupi waktu untuk melakukan wudhu secara berurutan.
Wallahu a’lam.
Rujukan:
1. At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-‘Ibadat, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 85, Penerbit Dar Al-‘Ulum Al-Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.
2. At-Tadzhib Fi Adillah Matn Al-Ghayah Wa At-Taqrib, karya Dr. Mushthafa Dib Al-Bugha, Halaman 15-16, Penerbit Dar Al-Mushthafa, Damaskus, Suriah.
Leave a Reply