Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Memahami “Maratibul Idrak” (Bagian 1)

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Salah satu bahasan dalam muqaddimah ushul fiqih adalah tentang “maratibul idrak”, yang secara sederhana bisa diartikan: tingkatan kekuatan informasi yang sampai pada kita dan kita terima. Bahasan ini sebenarnya berasal dari bahasan mantiq, yang masuk dalam bahasan ushul fiqih.

Dalam “maratibul idrak” ini, idrak itu terbagi lima, yaitu: ‘ilm, zhann, syak, wahm, dan jahl.

‘Ilm adalah sampainya informasi tentang sesuatu pada kita dengan tingkat kebenaran 100%, sesuai dengan fakta sesuatu tersebut, dan kebenaran informasi itu didukung oleh dalil pasti (dalil qath’i) yang menunjukkannya.

Sedangkan zhann, ia berisi dua atau lebih informasi tentang sesuatu, dan salah satu dari informasi tersebut lebih kuat kemungkinan benarnya menurut kita, berdasarkan beberapa tanda dan indikasi penguat yang kita temukan. Hanya saja, ia menyisakan kemungkinan salah (meskipun persentase kemungkinan salahnya kecil, menurut kita), karena tanda dan indikasi penguat tersebut tidak sampai memberikan bukti pasti atas kebenarannya.

Nah, para ulama menyatakan bahwa bab-bab fiqih itu, dalil-dalilnya zhanni (dari kata zhann). Artinya, dalam persoalan fiqih yang diperselisihkan ulama, pendapat yang dianggap rajih (kuat) oleh seorang ulama atau satu madzhab, itu tingkat kebenarannya tidak sampai 100%, masih mungkin keliru. Artinya, ada kemungkinan pendapat yang dianggap kuat oleh seorang ulama, sebenarnya itu adalah pendapat yang keliru, dan sebaliknya, pendapat yang dianggap lemah, ternyata ia yang benar.

Perlu dicatat, dalam amal, cukup bagi kita beramal dengan landasan yang zhanni, hasil ijtihad seorang ulama dari dalil-dalil yang ada. Jadi, amal kita mengikuti hasil ijtihad Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad, dan yang lainnya, itu sah, dan kita telah berjalan sesuai tuntunan syariah saat mengikuti hasil ijtihad mereka tersebut.

Hanya saja, karena ia derajatnya zhann, maka kita perlu bersikap toleran dan menghargai pendapat yang berbeda, selama itu hasil ijtihad ulama dari dalil-dalil zhanni yang ada. Dua atau tiga atau empat pendapat ini, sama-sama sah sebagai hasil ijtihad, dan sama-sama sah untuk diikuti dan diamalkan, dan tidak layak kita memusuhi apalagi menyesatkan orang lain yang mengamalkan pendapat yang berbeda dengan yang kita ikuti.

Ini tentu berbeda dengan derajat ‘ilm, yang kebenarannya 100% dan tidak menyisakan kemungkinan salah. Contohnya: tentang adanya Allah Sang Pencipta, ini ‘ilm, pasti benar, dan pandangan sebaliknya yang menafikan keberadaan Tuhan (atheisme) itu pasti salah dan harus ditolak. Tidak ada toleransi terhadap paham batil ini.

Demikian juga, keyakinan Islam sebagai satu-satunya diin yang benar, satu-satunya jalan keselamatan, itu ‘ilm, benar 100%, dan pandangan sebaliknya baik dari agama, kepercayaan, isme maupun ideologi lain di luar Islam, semuanya pasti salah, batil. Dan tidak ada toleransi terhadap semua kebatilan ini.

Tentu perlu ditekankan, bermuamalah dengan baik terhadap non muslim, bahkan seorang atheis sekalipun, itu persoalan terpisah. Tidak menoleransi ajarannya, bukan berarti tidak bermuamalah dengan baik pada mereka.

Leave a Reply