Meniti Jalan Para Ulama - Blog Pribadi Muhammad Abduh Negara

Fikrah

Wajib Beramal Mengikuti Satu Madzhab Fiqih Saja?

Oleh: Muhammad Abduh Negara

Urgensi tamadzhub (mengikuti madzhab tertentu) dalam proses belajar fiqih, tidak meniscayakan kita wajib beramal mengikuti satu madzhab fiqih saja. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” menjelaskan, kita tidak wajib terikat dengan satu madzhab atau dengan satu ulama saja dalam amal.

Sejak era shahabat, orang-orang sudah bertanya kepada ulama yang hidup di tengah mereka, tanpa mengikat diri untuk bertanya atau meminta fatwa hanya kepada satu ulama saja. Dalam satu persoalan, mereka bertanya pada ulama A. Pada persoalan lain, mereka bertanya kepada ulama B. Dan hal ini tidak diingkari oleh para ulama yang hidup di masa itu.

Namun yang perlu dicatat, kita wajib beramal dengan ilmu atau penjelasan yang sampai pada kita. Baik ilmu tersebut kita dapatkan dari bertanya kepada seorang mufti, atau melalui belajar di hadapan seorang guru dengan kurikulum yang sistematis, atau dari membaca satu kitab fiqih yang mu’tabar, atau jika mampu dengan hasil ijtihad atau tarjih sendiri. Tidak boleh kita mengamalkan perkara yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya.

Bagi orang yang sedang dan baru belajar fiqih satu madzhab tertentu, maka logisnya dia juga akan mengamalkan pendapat-pendapat mu’tamad (pegangan) dalam madzhab tersebut, karena itulah ilmu yang sampai kepadanya. Orang yang baru belajar fiqih Syafi’i dan tidak pernah belajar fiqih Maliki misalnya, tentu tidak layak baginya mengamalkan pendapat madzhab Maliki, karena dia tidak memiliki ilmu tentangnya.

Pada kondisi tertentu, ketika dia jatuh pada haraj (kesulitan) jika mengamalkan pendapat madzhab yang sedang dia pelajari, maka boleh baginya meminta fatwa atau solusi kepada gurunya, tentang pendapat alternatif di luar madzhab atau di internal madzhab namun bukan pendapat mu’tamad, yang bisa dia amalkan. Pada kondisi ini, boleh baginya mengamalkan selain pendapat mu’tamad madzhab, berdasarkan fatwa atau penjelasan dari gurunya.

Adapun bagi orang awam yang tidak sedang tafaqquh (belajar) dalam madzhab tertentu, maka sebagaimana kata ulama, madzhab mereka adalah madzhab muftinya. Artinya, pendapat yang disampaikan muftinya, itulah yang dia amalkan. Baik muftinya itu tuan guru fulan, kiyai ‘allan, ustadz anu, lembaga bahtsul masail NU, komisi fatwa MUI, majelis tarjih Muhammadiyah, dan lain sebagainya, selama mereka punya keahlian dalam fiqih dan fatwa.

Sedangkan bagi orang-orang yang sudah memiliki wawasan fiqih yang luas dan dalam, boleh baginya memilih pendapat mana saja yang mereka anggap lebih kuat. Syaikh Muhammad Hasan Ad-Dedew misalnya mengatakan, kadang beliau melihat pendapat madzhab A yang rajih dalam persoalan ini, sedangkan pada persoalan itu yang rajih adalah pendapat madzhab B, dan seterusnya.

Wallahu a’lam.

Leave a Reply